ISLAM
DAN GLOBALISASI;
PENGARUH
GLOBALISASI TERHADAP
KRISIS
IDENTITAS MUSLIM
Sebagai umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan
anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1)
Kita adalah pemilik risalah ‘alamiyah (global) yang datang untuk seluruh
manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita berbahasa Arab,
Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab). Tetapi ini
bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan
untuk segenap penduduk bumi. Agama masehi sendiri tumbuh di dunia Timur, lalu
tersebar di penjuru dunia. (2) Jalan untuk menuju saling pengertian dan
berdekatan cukup banyak. (Salah satunya adalah ta’aruf). Jadi ta’aruf –bukan
saling bermusuhan- merupakan kewajiban semua penduduk bumi. Kita tidak
sependapat dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan, ‘Timur adalah Timur,
dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin bertemu.’ Keduanya justru bisa
bertemu, dan bahkan wajib untuk bertemu bila niatnya benar. (3) Dunia yang
semakin dekat ini mengharuskan penganut agama-agama samawi dan pemilik tiap
peradaban untuk bertemu, berdialog dan saling memahami. Dan tentu saja dialog
semacam itu lebih baik daripada pemusuhan.
Yusuf
al-Qaradhawi[1]
Globalisasi sebagai sebuah fenomena mulai menampakkan dirinya pada
sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Dan pemunculan itu setidaknya sangat
berkiatan erat dengan 3 peristiwa besar yang masing-masing mewakili ranah
politik, teknologi dan ekonomi. Ketiga peristiwa itu adalah:
1.
Ranah politik: berupa berakhirnya
perang dingin antara Timur –yang dalam hal ini diwakili oleh Uni Soviet- dan
Barat –yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika-. Tentu saja dengan “kekalahan”
di pihak Uni Soviet yang belakangan harus rela membiarkan wilayahnya tercabik
dan melepaskan diri satu persatu.
2.
Ranah teknologi: yang mewujud
dalam revolusi informasi, dimana dunia menyaksikan ledakan yang luar biasa
dalam bidang telekomunikasi dan arus perpindahan informasi yang tak terkendali
dari satu tempat ke tempat yang lain.
3.
Ranah ekonomi: berupa lahirnya
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 yang kemudian menjadi bibit
persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara.[2]
Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah
terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau
bangsa memiliki kekuasaan penuh (baca:
menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun Romawi pernah
menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu kemudian
tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.
Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa
menggalakkan ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah
tidak pernah mencatat adanya fenomena baru yang disebut globalisasi ini,
meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil menanamkan kekuatan dan
kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman kiwari ini, di
saat kita –setidaknya secara kasat mata- tidak lagi melihat bentuk-bentuk
imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan
perkembangan telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap
detik, justru menjelma menjadi fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita
nampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain turut serta menjadi “pemain”
dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang menentukan: apakah
kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia mengalir,
atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan
cita-cita keislaman kita.
Tulisan ini pada intinya ingin menyampaikan gagasan seputar bagaimana
seharusnya seorang muslim dapat tetap berdiri kukuh menggenggam identitasnya,
sembari terus memanfaatkan kekuatan arus globalisasi tersebut untuk kepentingan
Islam yang ia yakini. Karena itu, uraian kajian ini akan mengulas poin-poin
berikut ini:
1.
Apa itu globalisasi?
2.
Kegelisahan bangsa-bangsa dunia
akan krisis identitas mereka akibat globalisasi. (Dampak negatif globalisasi
terhadap identitas bangsa-bangsa dunia)
3.
Bagaimana menyelesaikan dampak
negatif globalisasi terhadap identitas muslim.
4.
Bagaimana memanfaatkan globalisasi
sebagai jalan untuk memperteguh identitas muslim.
Apa Itu Globalisasi?
Meskipun globalisasi telah menjadi fenomena yang diakui keberwujudannya
oleh semua kalangan, namun tetap saja terjadi perbedaan pandangan saat kita
akan menjelaskan batasannya yang sebenarnya. Para
cendekiawan yang mengurai masalah ini setidaknya terbagi menjadi beberapa
“madzhab” ketika memberikan definisi terhadap globalisasi, antara lain:
Pertama, adalah yang menitikberatkan fenomena globalisasi pada bidang
ekonomi. DR. Sa’ad al-Bazi’i misalnya menyebutkan:
Globalisasi adalah penjajahan dalam pakaiannya yang baru. Sebuah pakaian
yang dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan membawa nilai-nilai yang
mendukung tersebar dan mengakarnya kepentingan-kepentingan itu. Ia adalah
penjajahan tanpa dominasi politik secara langsung atau iring-iringan militer
yang kasat mata. Secara sederhana, ia adalah upaya yang didorong oleh hasrat
berkuasa manusia atas ekonomi dan pasar
lokal, lalu mengikatnya dengan sistem yang lebih besar untuk kemudian
mendapatkan sebanyak mungkin konsumen. Dan jika upaya pencarian pasar dan usaha
untuk memasarkan (produk) adalah merupakan tuntutan manusiawi yang telah ada
sejak dulu hingga sekarang, bahkan disyariatkan, akan tetapi apa yang terjadi
di sini (dalam globalisasi –pen) tidak sama dengan itu. Sebab (globalisasi)
adalah upaya untuk melakukan persaingan yang tidak berimbang –bahkan boleh jadi
tidak terhormat- dari satu sisi, dan dari sisi lain ia adalah upaya untuk
melemahkan apapun yang menghalangi jalannya; baik itu berupa nilai ataupun
upaya ekonomi dan pemikiran.[3]
Penjelasan ini dengan sangat jelas memandang bahwa inti dari globalisasi
sepenuhnya berputar pada satu titik utama, yaitu kepentingan ekonomi pihak yang
menggerakkan globalisasi itu. Tindakan apapun yang lahir kemudian, meskipun
tidak memiliki aroma ekonomi yang kental, sesungguhnya adalah alat untuk
menyukseskan kepentingan utama tersebut. Meskipun sebenarnya pengaitan
globalisasi dengan ekonomi bisa melahirkan dua paradigma yang kontradiktif:
paradigma optimistik dan pesimistik. Dengan paradigma optimistik kita bisa saja
mengatakan bahwa globalisasi akan membuka sekat-sekat yang selama ini
menghalangi banyak negara untuk memasarkan produknya atau mendapatkan
produk-produk penunjang kemajuannya. Sementara dengan paradigma pesimistik,
kita juga bisa mengatakan bahwa globalisasi hanya akan menambah jumlah
kemiskinan dan menguntungkan korporasi-korporasi besar, yang mengakibatkan
matinya usaha-usaha kecil.[4]
Kedua, yang mengaitkan globalisasi dengan sisi pemikiran dan ideologis.
Suatu model yang disebut sebagai teologi global oleh John Hick, atau teologi
dunia (world theology) oleh W.C. Smith.[5] DR. Muhammad ‘Abid al-Jabiry
mengatakan:
Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses
pemberangusan’ pemikiran (lain)...Ia juga berarti dominasi dan pengharusan
menerapkan satu model konsumsi dan perilaku yang sama.[6]
Hal yang sama juga kemudian digambarkan secara lebih jelas oleh Muhammad
Samir al-Munir yang menyatakan:
Barat ingin mewajibkan model, pemikiran, perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya
terhadap (bangsa) lain. Sedangkan orang-orang Prancis memandang bahwa
globalisasi adalah wujud halus dari Amerikaisasi yang mewujud dalam tiga
simbol: (1) kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan dan
globalisasi, (2) dominasi film-film Hollywood dengan ide-ide rendah namun
fasilitas yang fantastik, dan (3) minuman Coca-cola, sepotong burger dan
Kentucky-nya...[7]
Atau dalam bahasa ide yang sama, menurut Malcom Walter, bahwa globalisasi
yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah memasarkan ideologi Barat, dan
bahkan membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer
dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya, -masih menurut Walter-
gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi yang bertujuan agar semua
menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat,
seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan
sekulerisme.[8]
Ketiga, ada yang memberikan batasan bahwa globalisasi tidak lebih dari
sekedar sebuah fenomena “afiliasi yang bersifat internasional”, seperti batasan
yang diberikan oleh DR. Shabri ‘Abdullah:
Bahwa globalisasi adalah fenomena dimana segala hal yang berhubungan
dengan ekonomi, pemikiran, sosial dan perilaku bercampur serta berkelindan
menjadi satu, hingga kemudian (hasil percampuran itu –pent) diafiliasikan
kepada seluruh dunia melampaui batas-batas politis negara-negara.[9]
Sementara yang lain mencoba memberikan batasan yang lebih komperhensif
dan integral terhadap globalisasi dengan menetapkan bahwa fenomena ini tidak
sekedar mewakili salah satu dari poin-poin yang dititiktekankan oleh ketiga
pandangan sebelumnya. Samir al-Tharablusi misalnya menguraikan batasan
globalisasi dengan mengaitkannya –setidaknya- pada 3 hal:[10] ekonomi, politik,
dan pemikiran. Ia menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah pandangan
strategis kekuatan kapitalisme internasional, khususnya Amerika Serikat, yang
bertujuan untuk menata ulang dunia sesuai kepentingan dan ketamakannya. Dan
dalam proses menuju itu, pandangan ini menempuh 3 jalan penting: (1) Ekonomi,
dan tujuannya adalah menekan dunia untuk masuk dalam satu pasar kapitalisme
yang diatur dengan satu sistem, dimana seluruh kekuatan kapitalisme (Tujuh
negara industri, IMF, WTO, dan yang lainnya) dikerahkan untuk mengawasi dan
membatasi geraknya. (2) Politik, dan tujuannya adalah membangun ulang tata
politik negara-negara dunia dalam wujud yang terpecah-pecah dan membangun
negara-negara baru yang memiliki kekuatan legitimasi yang rapuh oleh pertikaian
internal; semuanya dengan tujuan memberangus hasrat perlawanan negara-negara
dunia terhadap kapitalisme –yang memang tidak akan mencapai kestabilannya
kecuali dengan keterpecahan itu. (3) Pemikiran, yang bertujuan mencerabut akar
bangunan pemikiran dan peradaban bangsa-bangsa dunia, dengan tujuan menyapuratakan
dunia dengan pemikiran yang mendukung kepentingan pasar global; seperti
menggiring opini negara berkembang bahwa mereka tidak bisa melepaskan
ketergantungan pada negara-negara maju.
Batasan terakhir ini mungkin menjadi penjelasan terutuh tentang globalisasi.
Namun dari semua penjelasan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa globalisasi
adalah: “sebuah kata yang merangkum beberapa fenomena yang intinya adalah
menjadikan dunia saling berdekatan melalui kemajuan yang dahsyat dalam sarana
komunikasi, transportasi, satelit dan internet, keterbukaan arus informasi,
yang (semuanya itu) disertai dengan kekuasaan satu kutub (dalam hal ini Amerika
dengan pengaruh Zionisme) yang berusaha untuk menyatukan semua kekuatan
ekonomi, politik (termasuk didalamnya militer) dan pemikiran untuk memenuhi
kepentingannya.”
Dalam kajian ini, sebenarnya yang paling penting untuk digarisbawahi
adalah pengaruh globalisasi terhadap pemikiran bangsa-bangsa dunia. Sebab
inilah yang paling bersinggungan langsung dengan identitas mereka masing-masing.
Ini pulalah yang kemudian memberikan pengaruh paling signifikan terhadap gegar
identitas itu.
Kegelisahan Bangsa-bangsa Dunia Terhadap
Krisis Identitas Akibat Globalisasi
Identitas adalah inti dan hakikat sesuatu. Bila ia dikaitkan dengan sebuah
bangsa atau komunitas, maka ia adalah “karakter yang membedakannya dengan
bangsa atau komunitas lain, yang sekaligus mengungkapkan kepribadian
peradabannya.”[11] Dan sebuah identitas selalu mengumpulkan 3 hal: (1)
Keyakinan ideologis, (2) bahasa untuk mengungkapkannya, dan (3) warisan budaya
dan peradaban untuk jangka waktu yang panjang.[12] Dari ketiga unsur ini,
keyakinan ideologis-lah unsur terpenting sebuah identitas. Dalam berbagai
konflik antar manusia, ketika unsur-unsur identitas yang lain mulai memudar, maka biasanya unsur
ideologis-lah yang kemudian menjadi “pelindung” akhir sebuah identitas.
Identitas sebuah
bangsa atau komunitas tentu saja sangat penting. Berbagai kepentingan manusia
sesungguhnya bertitik tolak dari hal ini. Akibatnya, mempertahankan dan menjaga
identitas menjadi sebuah misi penting setiap bangsa atau komunitas. Mengapa
negara-negara Uni Eropa menolak Turki untuk bergabung bersama mereka? Karena
perbedaan identitas antara mereka dengan Turki. Eropa dengan sangat jelas
menegaskan bahwa mereka tidak menghendakinya ada satupun negara muslim (baca:
Turki) dalam persatuan Uni Eropa.[13] Dengan demikian, sebenarnya kekhawatiran
akan terjadinya krisis identitas telah menjadi milik semua bangsa di dunia;
suatu hal yang kemudian mendorong beberapa bangsa itu justru melakukan “agresi
identitas” terhadap bangsa lain. Dan itu dilakukan dengan menunggangi
globalisasi sebagai alat.
Maka tidak
mengherankan jika sebelumnya ada yang menyebut globalisasi sebagai
Amerikaisasi. Dan sangat disayangkan bahwa Amerika –kenyataannya- memang tidak
sekedar bermaksud menanamkan nilai-nilainya saja, namun bertitik-tolak dari
kepentingan-kepentingannya seringkali menerapkan standar-standar ganda dalam
banyak kasus. Dan dengan cara seperti itu, ia telah menjelma menjadi sosok
ancaman besar bagi bangsa lain, terutama Islam. Dan berikut ini hanyalah
beberapa bukti akan hal itu:
Globalisasi
adalah ketika Anda boleh menyerang negara berdaulat manapun -meskipun tidak ada
izin dari PBB- hanya karena dugaan adanya senjata pemusnah massal, sementara
ada negara yang tidak jauh dari negara itu yang jelas-jelas memiliki senjata
pemusnah massal dan menduduki tanah yang bukan miliknya dengan melanggar semua
keputusan PBB. Sudah terlalu jelas, Amerika adalah pendukung Israel . Ia akan
selalu menggunakan hak vetonya dari waktu ke waktu untuk mendukung
pendudukannya di tanah Palestina. Amerika jugalah yang menyerang Irak dengan alasan-alasan
kosong “senjata pemusnah massal” meski tanpa izin Dewan Keamanan PBB. Ia
jugalah yang memindahkan tawanan-tawanan Afghanistan
ke Guantanamo
tanpa pengadilan yang transparan dan adil. Ia jugalah yang menakut-nakuti
lembaga-lembaga donor Islam sebagai pendana gerakan terorisme, dan ia –Amerika-
boleh saja membekukan rekening lembaga atau person manapun yang inginkan. Meski
tanpa bukti yang jelas.
Gerakan-gerakan
perlawanan Palestina adalah sekumpulan teroris, sementara “sang penjajah” tidak
lebih dari orang-orang yang melakukan pembelaan diri. Gerakan-gerakan
perlawanan Afghanistan
terhadap invasi Amerika adalah teroris. Namun ketika gerakan yang sama
melakukan perlawanan terhadap invasi Uni
Soviet , ia menjadi
gerakan yang legal bahkan mendapatkan dukungan kuat. Ini semua tidak lain
menunjukkan adanya tolok ukur yang kacau di pihak Amerika.
Fenomena
Huntington dengan Clash Civilication-nya juga patut dicermati. Teori yang
diangkatnya tidak lebih dari sebuah ajakan untuk mengembalikan fanatisme terhadap
peradaban Barat untuk kemudian memerangi yang lain, terutama Islam. Dalam
bukunya, ia dari waktu ke waktu melontarkan provokasi untuk mewaspadai Islam,
dan itu cukup berhasil menumbuhkan kekhawatiran yang tak terlukiskan di
kalangan Barat, terutama Amerika. Isu “perang terhadap terorisme” adalah bukti
tak terbantahkan atas keberhasilan itu.
Fakta lain yang
harus diangkat adalah bahwa kegelisahan akan pola globalisasi ala Amerika ini
tidak hanya milik umat Islam. Friedman misalnya menyatakan: “Kita sedang berada
di hadapan berbagai perang politis dan peradaban yang ganas dan keji. Amerika
Serikat adalah sebuah kekuatan yang gila, dan kita adalah kekuatan revolusioner
yang berbahaya. Sebenarnya mereka-lah yang takut kepada kita.”[14] Pada tahun
2003, dari hasil sebuah jajak pendapat di Eropa disimpulkan bahwa Amerika
kemudian Israel
adalah ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia.[15]
Beberapa studi
juga mengungkapkan keluhan-keluhan negara-negara Timur non-muslim akan hal ini.
Jepang dan Korea Selatan misalnya. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh materi siaran televisi bagi kaum muda Korea Selatan
menunjukkan bahwa materi itu sangat mempengaruhi nilai-nilai tradisi kekoreaan
mereka. Akibatnya banyak pemudi Korea
yang lebih memilih bebas dari ikatan keluarga dan moral. Mereka bahkan meyakini
bahwa tidak menjadi soal jika melakukan hubungan seks di luar nikah, dan bahwa
itu tidak lebih merupakan bagian dari kebebasan individu. Bahkan menjadi biasa
saja bagi mereka untuk merendahkan ajaran Kong Hu Chu –yang menjadi sebagian
rakyat Korea Selatan.
Di Filipina
–yang notabene termasuk negara Asia paling “amerikanis”-, juga menyeruak
kegelisahan akibat merasuknya nilai-nilai materialistik sebagai nilai
terpenting di kalangan pelajar dan melunturnya apa yang disebut sebagai
nilai-nilai budaya Filipina yang asli, seperti kelapangan dada, pengorbanan dan
kebijaksanaan.[16]
Bahkan sebagian
negara-negara Barat pun merasakan kecemasan yang tidak jauh berbeda dengan
kecemasan-kecemasan di atas. Prancis misalnya, meskipun termasuk negara
Barat-Kristen, namun diakibatkan perbedaan bahasa, ia kemudian menjadi negara
yang paling mengeluhkan globalisasi pemikiran dan dominasi bahasa Inggris. Ini
dianggap sebagai ancaman bagi identitas Prancis.
Sebuah studi di Australia –yang bisa disebut negara Kristen
Barat paling serupa dengan Amerika dalam hal identitas- tetap saja menunjukkan
kecemasan yang sama, terutama pengaruh materi siaran televisi Amerika terhadap
anak-anak Australia .
Tidak hanya itu, di Kanada bahkan kegelisahan itu diungkapkan oleh Menteri
Kebudayaan, Sheila Coops. Ia mengkhawatirkan adanya dominasi budaya Amerika di sana . Ia mengatakan:
“Menjadi hak anak-anak di Kanada untuk menikmati hikayat-hikayat nenek moyang
mereka. Sangat tidak masuk akal dan tidak bisa diterima jika 60% program
televisi Kanada merupakan barang impor, 70% musik kita adalah musik asing, dan
95% etika kita tidak berasal dari Kanada.”[17]
Contoh-contoh
yang diangkat dari berbagai studi di dunia tersebut menunjukkan adanya
kekhawatiran para pemikir dan budayawan di berbagai negara akan bergesernya
identitas budaya dan kepribadian mereka oleh globalisasi Amerika. Pertanyaannya
adalah apakah di saat yang sama, umat Islam tidak perlu merasakan kekhawatiran
yang sama akan hal itu? Seharusnya kekhawatiran itu memang menjadi milik umat
Islam, sebab pelaku-pelaku globalisasi belum pernah menyatakan “perang”
sedahsyat pernyataan perang mereka terhadap Islam.
Hal lain yang
patut diingat adalah bahwa pelaku-pelaku globalisasi itu terus berusaha
membentuk ulang pemahaman-pemahaman dasar kaum muslimin tentang alam, manusia
dan kehidupan, untuk kemudian diganti dengan pemahaman yang selama ini umum
diyakini di Barat. Alam –dalam pandangan mereka- tidak diciptakan untuk menjadi
sarana kemudahan hidup manusia. Alam bukanlah tempat pengujian siapa yang
terbaik amalnya. Manusia tidak diciptakan untuk beribadah kepada Allah.
Kebalikan dari pemahaman-pemahaman semacam ini –yang merupakan pemahaman
mendasar dalam Islam- bagi mereka tidak lebih dari sekumpulan khurafat yang
tidak bisa diterima rasio.[18]
Jika kita
beralih dari pemahaman ideologis –yang merupakan pijakan dasar sebuah
identitas- kepada bahasa yang merupakan alat pengungkap dan penjelas dari
pemahaman itu, maka kita akan melihat dengan nyata dominasi budaya Barat hari
ini dapat terlihat dengan jelas dalam wujud bahasa. Survei di internet misalnya
menunjukkan bahwa 88 % informasinya disampaikan dengan bahasa Inggris, 9 %
dengan bahasa Jerman, 2 % dengan bahasa Prancis, dan 1 % sisanya terbagi ke
dalam berbagai bahasa dunia.[19]
Pengaruh
globalisasi terhadap perubahan identitas perilaku dan akhlak dapat dikatakan
yang paling cepat terjadi dibandingkan dengan yang lainnya. Kampanye seputar
seks bebas, kehidupan hedonistik, mode busana terbaru, dan lain sebagainya,
telah terbukti sebagai isu yang paling cepat mendapatkan tanggapan, reaksi, dan
penggemar.
Dan pertanyaan
akhirnya –sekali lagi- adalah: tidak patutkah semua itu menggelisahkan
identitas Islam di seluruh dunia?
Jalan Untuk
Menghadapi Dampak Negatif Globalisme
Globalisasi
sesungguhnya adalah fenomena yang mau tidak mau pasti terjadi. Ia merupakan
konsekwensi dan kemestian logis dari kemajuan teknologi hubungan dan interaksi
manusia yang tak kenal lelah untuk terus mencipta hal baru. Maka kemustahilan
membunuh globalisasi sama saja dengan kemustahilan mematikan hasrat kreatifitas
manusia. Tetapi penerimaan terhadap globalisasi tidak berarti kesediaan untuk
larut dalam dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama jika itu terkait
dengan identitas kemusliman kita –sebagaimana yang menjadi bahasan kajian ini-.
Berikut ini beberapa saran teoritis yang mungkin dapat menjadi jalan panjang
untuk menghadapi berbagai dampak negatif globalisasi tersebut:
Pertama,
melakukan upaya-upaya penguatan identitas muslim dengan unsurnya yang paling
kuat: kembali kepada Islam. Segala upaya-upaya yang dapat melahirkan kebanggaan
pada Islam seharusnya ditempuh. Sebab krisis identitas paling menemukan
jalannya jika sejati identitas itu sendiri tidak mendapatkan tempat di hati di
kalangan muslim sendiri.
Kedua,
menampilkan sisi-sisi keindahan, keuniversalan, keadilan, dan peradaban Islam
yang luhur bagi umat Islam sendiri, sebelum kemudian menyodorkannya kepada umat
di luar Islam. Kesilauan pada identitas orang lain dan keraguan pada identitas
sendiri selalu bermula dari ketidaktahuan atau ketidaksadaran akan keunggulan
diri sendiri. Muhammad Quthb mengatakan:
Sesungguhnya
jawaban hakiki terhadap “thaghut” masa kini yang bernama globalisasi ini adalah
(dengan) menampilkan model (prototipe) yang benar yang seharusnya dijalankan
oleh manusia, agar umat manusia percaya bahwa –di alam nyata- mereka dapat
mencapai kemajuan di bidang teknologi, ekonomi, militer dan politik, dengan
tetap mampu menjaga kemanusiaan dan kebersihannya, meninggalkan hal-hal rendah
dan keji, serta menegakkan keadilan dan kebenaran.[20]
Dan yang tak
kalah pentingnya adalah membuktikan kemampuan Islam dalam memberikan jawaban
terhadap semua problematika yang dimunculkan oleh globalisasi.
Ketiga,
menghadapi dampak positif globalisasi dengan upaya-upaya pendidikan, pencerahan
pemikiran, peningkatan kualitas intelektual dan perang terhadap kebodohan.
Ketiga,
memberikan jaminan kemerdekaan dan kebebasan pemikiran di tengah kaum muslimin.
Sebab kemerdekaan dan kebebasan berpikir adalah upaya terpenting untuk membagi
dan menumbuhkembangkan potensi dan kreatifitas individu muslim, yang pada
akhirnya menjadi faktor mendasar bagi berkembangnya sumbangsih kaum muslimin
untuk peradaban dunia. Hanya saja, kemerdekaan ini tidak bisa dipahami sebagai
kebebasan membuka pintu untuk mengekspresikan apapun, dan tidak pula berarti
penerimaan terhadap semua ide dan pemikiran. Kemerdekaan yang dimaksud di sini
adalah kemerdekaan yang dibingkai dengan aturan-aturan syara’.
Keempat, harus
ada upaya untuk memahami lebih jauh tentang globalisasi pemikiran. Upaya ini
lebih ditujukan untuk mengetahui lebih jauh titik kekuatan dan kelemahan, sisi
positif dan negatifnya melalui pandangan Islam yang terbuka. Di sini harus
tercipta sebuah dialog antar peradaban. Dan poin penting lain yang harus
dicatat adalah bahwa sikap kritis yang total terhadap peradaban Barat dalam
studi ini harus didukung oleh kebebasan jiwa dari dominasi ide-ide Barat.
Ide-ide Barat tidak boleh menjelma menjadi sesuatu yang mutlak. Ia harus
diletakkan sebagai unsur yang sama dan sederajat dengan unsur-unsur dunia
lainnya.
Kelima,
menciptakan komitmen dengan media-media massa
dan informasi untuk ikut serta memperkuat identitas keislaman umat. Tidak ada
yang meragukan bahwa pergeseran identitas banyak dipengaruhi oleh siaran
televisi, radio, media massa ,
dan –yang mengalami ledakan dahsyat dalam dasawarsa belakangan ini- internet.
Upaya ini menuntut kreatifitas dan inovasi yang tinggi dari para pelaku media
informasi dan komunikasi muslim untuk melahirkan program-program alternatif
yang bermutu.
Penutup
Pada akhirnya,
Islam dan umat Islam sesungguhnya dapat memanfaatkan globalisasi sebagai jalan
efektif untuk memperteguh identitasnya. Bahkan sudah seharusnya demikian.
Artinya pemanfaatan globalisasi dalam rangka meneguhkan –bahkan menyebarkan-
identitas Islam dan umat Islam sesungguhnya telah sampai pada taraf kewajiban.
Apalagi salah satu doktrin penting yang sering digaungkan oleh umat Islam
sendiri adalah bahwa Islam adalah agama ‘alami.[21]
Pemanfaatan
globalisasi tentu saja didasarkan pada pandangan objektif bahwa fenomena ini
tidak sepenuhnya mengandung nilai-nilai negatif. Fenomena ini sebenarnya
menyimpan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, yang dampak-dampaknya sepenuhnya
bergantung pada “siapa dan bagaimana” ia dimanfaatkan. Senjata paling mematikan
yang dimiliki oleh globalisasi adalah media informasi dan sarana telekomunikasi
dengan segala variannya yang berkembang setiap hari. Dan seperti yang telah
disinggung sebelumnya, hari ini kita menantikan kolaborasi cantik antara ulama,
pemikir, ilmuwan ahli, budayawan, dan pelaku-pelaku globalisasi muslim untuk
meracik secara tepat, untuk kemudian menyajikan jawaban positif Islam atas
globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
‘Ammar Thalibi. Al-‘Aulamah wa
Atsaruha ‘ala al-Sulukiyyat wa al-Akhlaq. Majalah al-Ra’id. Edisi 236 Rabi
al-Awwal 1423/mei 2002. Al-Dar al-Islamiyyah li al-I’lam. Jerman.
2.
Anwar ‘Isyqi. Al-Syayathin
Takhtabi’ fi al-Tafashil ((Silsilah Kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah
Man Yurabbi al-Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
3.
Bachtiar Effendi. Islam dan
Nasionalisme Tidak Mesti Bertentanga. Wawancara dengan situs Islamlib.com
tanggal 29-08-2005.
http://islamlib.com/idindex.php?page=article&mode=print&id+870.
4.
Hamid Fahmi Zarkasyi. Merespon
Globalisasi dengan Plurasime Agama.
http://www.insistnet.com/index2.php?option_content&task=view&id=25.
5.
Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim.
Al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah.
http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=7335.
6.
Mahmud Samir al-Munir. Al-‘Aulamah
wa ‘Alam Bila Hawiyyah. Dar al-Kalimah. Mesir. Cetakan pertama. 1422.
7.
Muhammad bin Isa al-Tamimi.
Al-‘Aulamah wa Qadhiyah al-Hawiyah al-Tsaqafiyah. Cetakan pertama. 1422.
8.
Muhammad Quthub. Al-Muslimun wa
al-‘Aulamah. Dar al-Syuruq. Kairo. Cetakan pertama. 1421 H.
9.
Sa’ad al-Bazi’i. al-Mutsaqqafun wa
al-‘Aulamah wa al-Dharurah wa al-Dharar (Silsilah Kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa
al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
10. Samuel Huntington. Shadam al-Hadharat (Clash Civilication).
Penerjemah ke dalam bahasa Arab: Thla’at al-Syayib. Cetakan kedua. 1999.
11. Shabri Abdullah. Al-‘Arab wa Muwajahah al-‘Aulamah (Silsilah
kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-‘Akhar). Cetakan
pertama. 1420 H.
12. Yusuf al-Qaradhawi. Al-Muslimun wa al-‘Aulamah. Dar al-Tauzi’ wa
al-Nasyr. Kairo. t.t.
13. Shabri Abdullah. Al-‘Arab wa Muwajahah al-‘Aulamah (Silsilah
kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-‘Akhar). Cetakan
pertama. 1420 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar