BAB III
MATERI PENDIDIKAN AKHLAK
Perkataan akhlak adalah jamak
dari kata khuluq yang menurut bahasa berarti ada kebiasaan, thabi’at, muru’ah,
perangai, dan agama. Dalam hal ini menurut tim FS PAI-JS UGM,
(1993 : 94) “Bahwa istilah perangai merujuk kepada perpaduan antara unsur
fithri dan ikhtiari. Kalau hanya unsur fitri saja yang bekerja disebut dengan
thabi’at. Disebut ada jika sesuatu itu dilakukan dengan kesadaran (iradah) dan
berulangkali. Sedangkan muru’ah adalah sifat yang mengajak orang berpedang dengan
budi pekerja terpuji dan adat yang baik. Ibnu Abbas menafsirkan lafazh khulug
pada ayat 4, surat Qalam sebagai agama (ad-Dien)”.
Jika ditinjau dari segi
istilah, Al Ghazaly memberikan definisi akhlak. “Akhlak yaitu : ibarat (sifat
atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa,
darinya tumbuh perubahan-perubahan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan
pikiran dan pertimbangan”. (Zainudi, 1991 : 102).
Berdasarkan definisi di atas,
kiranya dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud akhlaq adalah sekumpulan
tindakan dan perilaku serta sifat seseorang apabila dilakukan dengan
berualng-ulang, sehingga menjadikan suatu kebiasaan dan hal itu dilakukan
secara spontan, bukan kepura-puraan atau keterpaksaan.
Kuat atau lemahnya iman seseorang
dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya. Karena iman yang kuat
mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah mewujudkan
akhlak yang jahat dan buruk, mudah tergelincir pada perbuatan keji yang
merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Agar seorang anak memiliki akhlak
yang baik dan mulia, maka kita harus mengarahkannya ke akhlak yang baik dan
mulia melalui pendidikan. Dimana pendidikan akhlak berarti membina dan
membimbing anak ke arah akhlak yang mulia.
Adapun indikator-indikator
materi pendidikan akhlak yang tertuang dalam Al Qur’an surat Lukman ayat 13 –
19, yang berbunyi :
13. Dan (ingatlah) ketika
Lukman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
14. Dan kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya : ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jia keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuan
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di
dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberi tahu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Lukman berkata) :
“Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan
(membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
17. Hai, anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri
19. Dan sederhanakanlah
kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai.
Dalam Al Qur’an surat Lukman
dalam ayat tersebut tertuang penjelasan mengenai materi pendidikan akhlak di
dalam mendidik anak. Disini penulis akan mencoba menggali dan mengungkapkan
materi akhlak apa saja yang tertuang pada surat Lukman ayat 13-19 ini.
A.
Larangan Menyekutukan Allah
Lukmanul Hakim memulai
pendidikan akhlak dan mengajarkan bagaimana seharusnya manusia terhadap
penciptanya, yaitu larangan menyekutukan Allah sebagaimana yang termaktub pada
13 surat Lukman.
Kalau kita perhatikan ayat 13
tersebut, dapat dipahami bahwa dasar pendidikan ayat itu adalah : mengenai
Allah dan tidak mempersekutukannya, dan Lukman mencegah anaknya dalam melakukan
kemusyrikan sebagai peringatan agar jangan sampai jatuh ke lembah kemusyrikan
dan mengingatkan betapa tidak terpujinya perbuatan syirik. Syirik adalah perbuatan
dosa yang terbesar dan dosa yang tidak diampuni oleh Allah untuk
selama-lamanya, kaitannya dalam masalah ini adalah ayat Al Qur’an Surat
An-Nissa ayat 48, yang artinya :
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata : “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih
(sendiri) berkata : “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”
sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepada surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongmu”. (Depag, 1989 : 172).
Arti ayat ini menjelaskan
bahwasannya Allah telah menyatakan kafir kepada orang-orang yang
mempersekutukan Allah dengan siapa dan siapapun juga. Maka orang nashara juga
telah kafir karena mereka mengatakan bahwa Al-masih itu Allah.
Dalam hal ini di dalam
tafsirnya Ibnu Katsier (Salim Bahraesy-Said Bahraesy, 1990 : 142), yang
mengisahkan :
“Dalam suatu riwayat Isa
Al-masih telah menyataka :
Ini Abdullah, artinya aku ini adalah hamba Allah,
sebagaimana yang tersebut dalam surat Maryam, kemudian sesudah dewasa ia
mencapai tingkat kenabiannya ia berkata : Hai Bani Israil, sembahlah Allah
itulah Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya siapa saja yang mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun maka Allah akan mengharamkan masuk surga dan tempatnya di
dalam neraka, sebab Allah telah menetapkan tidak akan mengampuni orang yang
mati dalam keadaan syirik dan akan mengampuni dosa selain syirik.
Dalam hadits shoheh Nabi SAW,
menyuruh seorang sahabat supaya berseru:
“Sesungguhnya syurga itu tidak dimasuki kecuali
oleh jiwa yang iman dan Islam (percaya dan taat) dan bagi orang yang dzalim
atau aniaya tidak ada pembelaan dan penolongnya” (Salim Bahreisy – Said
Bahreisy, 1990 : 142).
Dalam ayat 74 surat Al-Maidah,
Ibnu Katsier (1990 : 14), Allah menyuruh kepada mereka agar supaya mereka
bertaubat memohon ampun kepada-Nya dan hal itu adalah merupakan kemurahan dan
kasih sayang Allah kepada hambanya yang berbuat salah dan dosa selalu dipanggil
kembali ke jalan lurus (tauhid), yang benar dan Allah Maha Luas rahmat
ampunannya yang bertaubat meminta ampun-Nya. Sebagaimana firman Allah :
“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah
memohon ampun kepada_Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Karenanya, setiap kebaikan
hendaknya dimulai dengan memperbaiki hubungan dengan Allah SWT. Hendaknya kita
memperhatikan ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah.
B.
Berbakti Kepada Orang Tua
Selain kita memperhatikan
materi akhlak pada surat Lukman ayat 13, maka sebagai kelanjutannya kita dapat
membaca dua ayat berikutnya.
Berbakti kepada orang tua
bukanlah sekedar pengharapan dari setiap orang tua melainkan suatu perintah
dari Allah SWT, sendiri dan bukan pula untuk membalas jasa kedua orang tuanya
dalam kehidupan di dunia ini, sebagaimana dalam surat Lukman ayat 14 dan ayat
15.
Kalau kita perhatikan ayat
tersebut di atas kita akan dapat mengambil banyak sekali petunjuk dan pelajaran
khususnya mengenai kewajiban terhadap kedua orang tua (ibu bapak) kita di
antaranya adalah : bahwa berbuat baik kepada orang tua itu wajib bahkan Allah
SWT, meletakkan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua itu setelah
Allah menyuruh manusia untuk menyembah Allah sekaligus tidak mempersekutukan-Nya
dengan apa dan siapapun sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 83,
Al-An’am ayat 151, An-Nissa ayat 36, Al-Isro ayat 23. Berbuat baik kepada kedua
orang tua itu hendaknya lebih diutamakan daripada berbuat baik kepda kaum
kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga, teman dan orang-orang yang lain.
Berbuat baik kepada orang tua, sebagai rasa syukur meliputi :
1. Perbuatan
2. Sikap
3. Ucapan, dan
4. Kunci berbuat baik.
1. Perbuatan
Perbuatan
adalah melakukan apa saja yang dapat menyenangkan dan memuaskan hati kedua
orang tua selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat agama Islam dan
sesuai dengan batas-batas kemampuan pada diri kita. Hendaknya selalu ingat
bahwa kedua orang tua kita itu pernah melakukan kebaikan yang amat banyak
kepada kita, bahkan tidak kecil pengorbanan yang mereka lakukan demi
keselamatan dan kebahagiaan kita. Dalam hal ini khususnya ibu yang sangat besar
jasanya kepada kita : Sebagaimana dalam arti surat Al-Akhqop ayat 15, yang
artinya :
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada ibu bapaknya. Ibunya mengandung dengan susah payah pula,
mengandungnya sampaih menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah
dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun dia berdo’a : “Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang Engkau berikan kepadaku dan
kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal shaleh yang Engkau ridhoi,
berikanlah kebaikan kepadaku (memberi kebaikan) kepada anak cucuku”.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang
yang berserah diri”.
Karenanya,
setiap orang berhutang budi kepada orang tuanya, dan kita wajib membalas jasa
mereka dengan sebai-baiknya, begitu pentingnya jasa kedua orang tua itu
sehingga Allah SWT, meletakkan kewajiban bersyukur kepada orang tua itu setelah
diperintahkan bersyukur kepada-Nya. Kiranya kita perlu ingat bahwa ada satu hal
yang tidak dapat kita lakukan membalas kasih sayang orang tua semasa kecil,
untuk itu Allah SWWT menyuruh kepada kita untuk memohon kepada-Nya agar
menyayangi ibu bapak kita seperti halnya kasih sayang mereka kepada kita di
masa kecil dahulu.
Dijelaskan dalam surat Al-Iqro ayat 23 bahwa
berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua mengasihi, menyayangi,
mendo’akan. Taat dan patuh kepada apa yang mereka perintahkan dan melakukan
hal-hal yang mereka sukai serta meninggalkan sesuatu yang mereka tidak sukai
adalah suatu kewajiban seorang anak sebagai bakti mereka.
“Birrul Walidaen adalah hak kedua orang tua yang
harus dilaksanakan oleh sang anak sesuai dengan perintah Islam sepanjang kedua
orang tua tidak memerintah atau mengajarkan pada anak-anaknya untuk melakukan
hal-hal yang dibenci Allah SWT”. (Ahmad Isya Asyur, 1997 : 14).
Dan mencari
keridhoan Allah hendaknya dicapai dengan keridhoan kedua orang tua kita
sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya :
“Keridhoan Allah itu tergantung kepada keridhoan
orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kedua orang tua juga”.
2. Sikap
Disini
maksudnya adalah sikap sopan santun yang diiringi oleh perasaan kasih sayang
kepada ibu bapaknya itu, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Isro
ayat 24 yang artinya berbunyi : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya,
dengan penuh kasih sayang”. (Depag, 1989 : 428).
Demikianlah
urgensi dan kewajiban untuk berbuat dan bersikap baik kepada orang tua kita
menurut ajaran Islam. Seperti suatu riwayat yang terjadi pada diri seorang
sahabat Nabi yang bernama Saad bin Abi Waqashara dengan ibu yang belum masuk
Islam.
3. Ucapan
Ucapan yang
kita tunjukkan kepada kedua orang tua kita hendaknya ucapan yang kita baik
dengan kalimat yang mulis, Allah SWT melarang kita mengucapkan kalimat yang
bernada membentak mencaci maki kepada mereka berdua, bahkan hanya ucapan “ah”
saja tetap dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang telah Allah berfirman dalam Al
Qur’an surat Al-Israa ayat 24 yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu membentuk
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Depag, 1989 : 427).
4. Kunci berbuat baik
Adapun
kelanjutan materi pendidikan akhlak yang tertuang dalam ayat 16 surat Lukman,
yang artinya :
Lukman
berkata : “Wahai anakku sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan sebesar biji
sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi niscaya Allah akan
mendatangkan (membalasny) sesungguhnya Allah Maha Halus dan Maha Mengetahui”.
Pada ayat
tersebut di atas Lukmanul Hakim memperkenalkan sebagian sifat-sifat Allah
kepada putranya di antaranya adalah sifat Maha Mengetahui apa saja yang
dilakukan makhluknya.
Adapun yang
dilakukan seseorang pasti diketahui oleh Allah SWT, walaupun orang itu sudah
bersembunyi di dalam batu sekalipun atau di tempat yang amat jauh di langit,
semuanya itu pasti diketahui oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam surat Yunus ayat
61 dan Surat Saba ayat 3 yang artinya :
Tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar jaroh (Atom) dibui ataupun di langit
tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih kecil dan tidak pula yang
lebih besar dari itu melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfudz)”. (Depag, 1989 : 136).
Dengan
mengenal sifat Allah bahwa Dia Maha Mengetahui apa saja yang kita lakukan dan
dimana kita ini melakukannya akan timbul kesadaran bahwa ktia ini selalu
diawasi dan dilihat oleh Allah SWT.
Betapa
bijaksana Lukmanul Hakim disaat memperkenalkan salah satu sifat Allah SWT
kepada putranya, sehingga dapat menyadarkan putranya itu selalu dalam
pengawasan dan dilihat oleh Allah SWT, dengan kesadaran seperti itu maka akan
melahirkan sifat ihsan yang artinya berbuat baik dan hal inilah yang menjadi
kunci dari setiap perbuatan yang baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW :
“Hendaklah engkau beribadat (mengabdi) kepada
Allah seakan-akan engkau melihat kepada-Nya, sekalipun engkau tak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihat engkau” (Hadits Atba’in Nawawi, 79).
Selain itu
Lukmanul Hakim juga mengingatkan kepada putranya bahwa setiap perbuatan akan
mendapatkan balasannya kelak di akherat, baik yang besar maupun yang kecil,
dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
C.
Mendirikan Sholat
Selanjutnya Lukmanul Hakim
memberikan pelajaran kepada putranya sebagaimana ayat 17 :
“Hai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah SWT.
Mendirikan shalat adalah
ibadah yang paling penting diajaran Islam, shalat merupakan fardhu pertama yang
dihisab di hari kiamat kelak sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya amalan seseorang hamba yang
mula-mula diperiksa pada hari kiamat ialah shalat, jika amal shalatnya baik
maka amal lainnya akan menjadi baik (diterima) jika amal shalatnya rusak maka
amal-amal lainnya akan rusak pula (tidak diterima)”. (Abdul Rahman Sahalaeha,
1981 : 45).
Pada hadits di atas Rasulullah
SAW menyatakan bahwa jika shalat seseorang itu baik maka beruntunglah orang
tersebut di akherat kelak. Sebaliknya jika shalatnya buruk atau kurang sempurna
maka orang tersebut di akherat akan rgui. Hal ini menunjukkan bahwa mendirikan
shalat merupakan perbuatan yang sangat besar pengaruhnya pada keimanan dan
perilaku kita sebagai manusia.
Jadi mendirikan shalat itu
merupakan kebutuhan setiap orang muslim, karena ia sendiri di akherat. Itulah
sebabnya mendirikan shalat tidak boleh ditinggalkan baik ketika sehat maupun
sakit, ketika berada di kampung halaman mukmin maupun saat bepergian, apakah
kita sedang sibuk maupun sewaktu senggang. Kewajiban mendirikan shalat itu
harus tetap dilakukan. Semua itu membuktikan kita bahwa shalat merupakan
kebutuhan hidup setiap muslim.
1. Manfaat mendirikan
shalat
1.1 Mengingatkan kita
sebagai hamba Allah SWT. Sering sekali kita lupa bahwa kita diciptakan oleh
Allah adalah untuk menyembah dan memperhambakan diri kita kepadanya,
sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. (Depag, 1989 : 862).
1.2 Membentuk kepatuhan
kita kepada Allah SWT
Islam
artinya patuh dan menyerahkan diri kepada Allah SWT, dengan mendirikan shalat,
maka identik pula dengan menyembah Allah dalam segenap jiwa, raga, pikiran dan
ucapan kita. Karena akan sangat besar pengaruhnya pada keyakinan, sikap serta
perbuatan jika shalat dilakukan sesuai dengan perintahnya dan dengan cara yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga akan terbentuk pribadi muslim
yang sebenarnya, yaitu :
Muslim
dalam keyakinannya
Muslim
dalam cara berfikirnya
Muslim
dalam sikapnya
Muslim
dalam akhlak dan perbuatannya
Muslim
dalam segala-galanya.
Tetapi jika
shalatnya sudah tidak sesuai lagi dengan perintah Allah dan contoh dari
Rasulullah SAW, maka akan melahirkan muslim dalam ucapan tetapi non muslim
dalam pikirannya, muslim pikirannya tidak dalam akhlak dan tingkah lakunya,
untuk memperbaiki dan meluruskan orang tersebut, maka cara yang paling tepat
adalah dengan memperbaiki dan mengkhusukan shalatnya.
1.3 Membersihkan diri
dari kotoran dosa
Setiap orang
yang melakukan dosa pasti dosa itu akan mengotori hatinya, dan membersihkan
dosa itu di antaranya dengan mendirikan shalat. Sebagaimana lazimnya orang yang
badannya bersih, ia akan mendekati sesuatu yang dapat mengotori badannya,
demikian pula melalui shalat yang secara rutin dilakukan, seorang muslim akan
selalu menjaga kebersihan dan kesucian hatinya dari kotoran yang ditiimbulkan
oleh dosa-dosa.
1.4 Membersihkan kembali
ikrar kita kepada Allah SWT
Apa yang
kita ucapkan ketika shalat, akan disambut oleh Allah SWT, sebagaimana yang
disabdakan Nabi Muhammad dalam hadits Qudsi yang artinya :
“Allah SWT berfirman : Allah
telah membagi shalat antara Aku dan dan Hamba-Ku menjadi dua bagian.
Setengahnya untuk apa yang dimintanya, kalau hamba itu membaca, Alhamdulillahi
rabbil’alamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam), maka Allah
berfirman : “Aku telah dipuji oleh hamba-Ku”. Kalau hamba itu membaca
arrahmanirrahim (Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka Allah SWT, berfirman :
“Aku telah dipuji oleh hamba-Ku, jika hamba itu membaca, Maaliki yaumiddiin
(yang menguasi hari balasan), maka Allah SWT, berfirman : Aku telah dimulyakan
oleh hamba-Ku”. Jika hamba itu membaca Iyyaakana’budu Wa Iyyakanas ta’iin
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan), maka Allah SWT, berfirman : “ayat ini antara Aku dan hamba-Ku dan
Aku memberi apa yang diminta olehnya: Jika hamba itu membaca Ihdinashshiraatahl
mustaqiim, shiraathal ladzina an’amta’alaihin, ghairil maghqdlubi’alaihim
waladlalliin. (tunjukkanlah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka : bukan (jalan) mereka yang
disukai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat. Ini semua bagi hamba-Ku dan
Aku memberi apa yang diminta oleh hamba-Ku (Muhammad Zuhri, 1981 – 235).
1.5 Mencegah dari
perbuatan keji
Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 45, yang berbunyi :
“Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu yaitu Alkitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Depag, 1989 : 635).
Orang yang
selalu mendirikan shalat niscaya akan tetap bersih dan ia akan enggan melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat mengotori hatinya. Dengan demikian ia akan
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar.
1.6 Mendidik untuk
memiliki sikap disiplin
Mendirikan
shalat telah ditetapkan waktunya, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam
surat An-Nissa ayat 103, yang artinya :
“Sesungguhnya shalat itu
adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (Depag,
1989 : 138).
Jika seorang
muslim itu selalu rajin menunaikan shalat pada waktunya, ia akan terbiasa untuk
melaukan segala sesuatu tepat pada waktunya. Menjaga waktu merupakan disiplin
yang amat penting dalam kehidupan kita ini, sehingga kita dapat selalu menepati
janji dan menghargai waktu.
1.7 Membentuk pribadi
berakhlak mulia
“Sesungguhnya berbahagialah
orang-orang mukmin, (yaitu) orang-orang yang khusu di dalam sholat mereka, dan
orang-orang kehormatannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau tetapi
barang siapa yang menghendaki selain yang demikian itu, maka mereka itulah
melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka. Dan
orang-orang yang memelihara shalat mereka itulah yang mewarisi syurga Firdaus,
mereka kekal di dalamnya”. (Depag, 1989 : 527).
Kalau
memperhatikan sifat-sifat baik yang tersebut pada ayat-ayat di atas, kita akan
mendapati bahwa kumpulan ayat itu dimulai dengan sikap melaukan shalat secara
khusus dan diakhiri dengan memelihara shalatnya. Seolah-olah dikatakna bahwa
orang yang khusu dalam shalatnya dan selalu memelihara waktu serta kualitas
shalatnya, akan dapat memiliki sifat-sifat yang baik itu.
1.8 Berdzikir, menyebut
dan mengingat Allah
Di antaran
tujuan mendirikan shalat adalah menyebut dan mengingat Allah SWT, yang
diistilahkan dengan “dzikir”. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an
surat Thaha ayat 14 yang berbunyi :
“Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat
mengingat Aku”. (Depag, 1989 : 147).
Mengacu dari
ayat di atas, adapun shalat ini terletak pada menyebutkan dan mengingat Allah
(berdzikirullah), sehingga dapat dikatakan bahwa mendirikan shalat adalah
berdzikir dengan cara khusus sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasul.
Nilai shalat
seseorang, banyak ditentukan oleh kadar kemampuannya dalam memusatkan
(mengkonsentrasikan) perhatian, pikiran, ingatan, jiwa dan hatinya kepada Allah
SWT.
1.9 Menenangkan jiwa dan
menentramkan hati
Shalat juga
merupakan penyebab utama bagi ketenangan jiwa dan ketentraman hati. Kalau kita
shalat secara khusu maka kita akan dapat mencapai ketentraman hati sebagaimana
firman Allah SWT.
2.
D.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar