Sabtu, 30 Mei 2015

Pendidikan Akhlak untuk Anak

BAB III
MATERI PENDIDIKAN AKHLAK

Perkataan akhlak adalah jamak dari kata khuluq yang menurut bahasa berarti ada kebiasaan, thabi’at, muru’ah, perangai, dan agama. Dalam hal ini menurut tim FS PAI-JS UGM,
(1993 : 94) “Bahwa istilah perangai merujuk kepada perpaduan antara unsur fithri dan ikhtiari. Kalau hanya unsur fitri saja yang bekerja disebut dengan thabi’at. Disebut ada jika sesuatu itu dilakukan dengan kesadaran (iradah) dan berulangkali. Sedangkan muru’ah adalah sifat yang mengajak orang berpedang dengan budi pekerja terpuji dan adat yang baik. Ibnu Abbas menafsirkan lafazh khulug pada ayat 4, surat Qalam sebagai agama (ad-Dien)”.

Jika ditinjau dari segi istilah, Al Ghazaly memberikan definisi akhlak. “Akhlak yaitu : ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, darinya tumbuh perubahan-perubahan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”. (Zainudi, 1991 : 102).
Berdasarkan definisi di atas, kiranya dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud akhlaq adalah sekumpulan tindakan dan perilaku serta sifat seseorang apabila dilakukan dengan berualng-ulang, sehingga menjadikan suatu kebiasaan dan hal itu dilakukan secara spontan, bukan kepura-puraan atau keterpaksaan.
Kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya. Karena iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk, mudah tergelincir pada perbuatan keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Agar seorang anak memiliki akhlak yang baik dan mulia, maka kita harus mengarahkannya ke akhlak yang baik dan mulia melalui pendidikan. Dimana pendidikan akhlak berarti membina dan membimbing anak ke arah akhlak yang mulia.
Adapun indikator-indikator materi pendidikan akhlak yang tertuang dalam Al Qur’an surat Lukman ayat 13 – 19, yang berbunyi :


13.  Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.


14.  Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya : ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.


15.  Dan jia keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberi tahu apa yang telah kamu kerjakan.
16.  (Lukman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.


17.  Hai, anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).


18.  Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri


19.  Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Dalam Al Qur’an surat Lukman dalam ayat tersebut tertuang penjelasan mengenai materi pendidikan akhlak di dalam mendidik anak. Disini penulis akan mencoba menggali dan mengungkapkan materi akhlak apa saja yang tertuang pada surat Lukman ayat 13-19 ini.
A.    Larangan Menyekutukan Allah
Lukmanul Hakim memulai pendidikan akhlak dan mengajarkan bagaimana seharusnya manusia terhadap penciptanya, yaitu larangan menyekutukan Allah sebagaimana yang termaktub pada 13 surat Lukman.
Kalau kita perhatikan ayat 13 tersebut, dapat dipahami bahwa dasar pendidikan ayat itu adalah : mengenai Allah dan tidak mempersekutukannya, dan Lukman mencegah anaknya dalam melakukan kemusyrikan sebagai peringatan agar jangan sampai jatuh ke lembah kemusyrikan dan mengingatkan betapa tidak terpujinya perbuatan syirik. Syirik adalah perbuatan dosa yang terbesar dan dosa yang tidak diampuni oleh Allah untuk selama-lamanya, kaitannya dalam masalah ini adalah ayat Al Qur’an Surat An-Nissa ayat 48, yang artinya :
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata : “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepada surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongmu”. (Depag, 1989 : 172).

Arti ayat ini menjelaskan bahwasannya Allah telah menyatakan kafir kepada orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan siapa dan siapapun juga. Maka orang nashara juga telah kafir karena mereka mengatakan bahwa Al-masih itu Allah.
Dalam hal ini di dalam tafsirnya Ibnu Katsier (Salim Bahraesy-Said Bahraesy, 1990 : 142), yang mengisahkan :
“Dalam suatu riwayat Isa Al-masih telah menyataka :
Ini Abdullah, artinya aku ini adalah hamba Allah, sebagaimana yang tersebut dalam surat Maryam, kemudian sesudah dewasa ia mencapai tingkat kenabiannya ia berkata : Hai Bani Israil, sembahlah Allah itulah Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya siapa saja yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka Allah akan mengharamkan masuk surga dan tempatnya di dalam neraka, sebab Allah telah menetapkan tidak akan mengampuni orang yang mati dalam keadaan syirik dan akan mengampuni dosa selain syirik.

Dalam hadits shoheh Nabi SAW, menyuruh seorang sahabat supaya berseru:


“Sesungguhnya syurga itu tidak dimasuki kecuali oleh jiwa yang iman dan Islam (percaya dan taat) dan bagi orang yang dzalim atau aniaya tidak ada pembelaan dan penolongnya” (Salim Bahreisy – Said Bahreisy, 1990 : 142).

Dalam ayat 74 surat Al-Maidah, Ibnu Katsier (1990 : 14), Allah menyuruh kepada mereka agar supaya mereka bertaubat memohon ampun kepada-Nya dan hal itu adalah merupakan kemurahan dan kasih sayang Allah kepada hambanya yang berbuat salah dan dosa selalu dipanggil kembali ke jalan lurus (tauhid), yang benar dan Allah Maha Luas rahmat ampunannya yang bertaubat meminta ampun-Nya. Sebagaimana firman Allah :


“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah memohon ampun kepada_Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Karenanya, setiap kebaikan hendaknya dimulai dengan memperbaiki hubungan dengan Allah SWT. Hendaknya kita memperhatikan ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah.



B.     Berbakti Kepada Orang Tua
Selain kita memperhatikan materi akhlak pada surat Lukman ayat 13, maka sebagai kelanjutannya kita dapat membaca dua ayat berikutnya.
Berbakti kepada orang tua bukanlah sekedar pengharapan dari setiap orang tua melainkan suatu perintah dari Allah SWT, sendiri dan bukan pula untuk membalas jasa kedua orang tuanya dalam kehidupan di dunia ini, sebagaimana dalam surat Lukman ayat 14 dan ayat 15.
Kalau kita perhatikan ayat tersebut di atas kita akan dapat mengambil banyak sekali petunjuk dan pelajaran khususnya mengenai kewajiban terhadap kedua orang tua (ibu bapak) kita di antaranya adalah : bahwa berbuat baik kepada orang tua itu wajib bahkan Allah SWT, meletakkan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua itu setelah Allah menyuruh manusia untuk menyembah Allah sekaligus tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapapun sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 83, Al-An’am ayat 151, An-Nissa ayat 36, Al-Isro ayat 23. Berbuat baik kepada kedua orang tua itu hendaknya lebih diutamakan daripada berbuat baik kepda kaum kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga, teman dan orang-orang yang lain. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai rasa syukur meliputi :
1.      Perbuatan
2.      Sikap
3.      Ucapan, dan
4.      Kunci berbuat baik.


1.      Perbuatan
Perbuatan adalah melakukan apa saja yang dapat menyenangkan dan memuaskan hati kedua orang tua selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat agama Islam dan sesuai dengan batas-batas kemampuan pada diri kita. Hendaknya selalu ingat bahwa kedua orang tua kita itu pernah melakukan kebaikan yang amat banyak kepada kita, bahkan tidak kecil pengorbanan yang mereka lakukan demi keselamatan dan kebahagiaan kita. Dalam hal ini khususnya ibu yang sangat besar jasanya kepada kita : Sebagaimana dalam arti surat Al-Akhqop ayat 15, yang artinya :
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya mengandung dengan susah payah pula, mengandungnya sampaih menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun dia berdo’a : “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal shaleh yang Engkau ridhoi, berikanlah kebaikan kepadaku (memberi kebaikan) kepada anak cucuku”. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri”.

Karenanya, setiap orang berhutang budi kepada orang tuanya, dan kita wajib membalas jasa mereka dengan sebai-baiknya, begitu pentingnya jasa kedua orang tua itu sehingga Allah SWT, meletakkan kewajiban bersyukur kepada orang tua itu setelah diperintahkan bersyukur kepada-Nya. Kiranya kita perlu ingat bahwa ada satu hal yang tidak dapat kita lakukan membalas kasih sayang orang tua semasa kecil, untuk itu Allah SWWT menyuruh kepada kita untuk memohon kepada-Nya agar menyayangi ibu bapak kita seperti halnya kasih sayang mereka kepada kita di masa kecil dahulu.
Dijelaskan dalam surat Al-Iqro ayat 23 bahwa berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua mengasihi, menyayangi, mendo’akan. Taat dan patuh kepada apa yang mereka perintahkan dan melakukan hal-hal yang mereka sukai serta meninggalkan sesuatu yang mereka tidak sukai adalah suatu kewajiban seorang anak sebagai bakti mereka.
“Birrul Walidaen adalah hak kedua orang tua yang harus dilaksanakan oleh sang anak sesuai dengan perintah Islam sepanjang kedua orang tua tidak memerintah atau mengajarkan pada anak-anaknya untuk melakukan hal-hal yang dibenci Allah SWT”. (Ahmad Isya Asyur, 1997 : 14).

Dan mencari keridhoan Allah hendaknya dicapai dengan keridhoan kedua orang tua kita sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya :
“Keridhoan Allah itu tergantung kepada keridhoan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kedua orang tua juga”.

2.      Sikap
Disini maksudnya adalah sikap sopan santun yang diiringi oleh perasaan kasih sayang kepada ibu bapaknya itu, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Isro ayat 24 yang artinya berbunyi : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang”. (Depag, 1989 : 428).
Demikianlah urgensi dan kewajiban untuk berbuat dan bersikap baik kepada orang tua kita menurut ajaran Islam. Seperti suatu riwayat yang terjadi pada diri seorang sahabat Nabi yang bernama Saad bin Abi Waqashara dengan ibu yang belum masuk Islam.
3.      Ucapan
Ucapan yang kita tunjukkan kepada kedua orang tua kita hendaknya ucapan yang kita baik dengan kalimat yang mulis, Allah SWT melarang kita mengucapkan kalimat yang bernada membentak mencaci maki kepada mereka berdua, bahkan hanya ucapan “ah” saja tetap dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang telah Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al-Israa ayat 24 yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu membentuk mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Depag, 1989 : 427).

4.      Kunci berbuat baik
Adapun kelanjutan materi pendidikan akhlak yang tertuang dalam ayat 16 surat Lukman, yang artinya :
Lukman berkata : “Wahai anakku sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan sebesar biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi niscaya Allah akan mendatangkan (membalasny) sesungguhnya Allah Maha Halus dan Maha Mengetahui”.
Pada ayat tersebut di atas Lukmanul Hakim memperkenalkan sebagian sifat-sifat Allah kepada putranya di antaranya adalah sifat Maha Mengetahui apa saja yang dilakukan makhluknya.
Adapun yang dilakukan seseorang pasti diketahui oleh Allah SWT, walaupun orang itu sudah bersembunyi di dalam batu sekalipun atau di tempat yang amat jauh di langit, semuanya itu pasti diketahui oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam surat Yunus ayat 61 dan Surat Saba ayat 3 yang artinya :
Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar jaroh (Atom) dibui ataupun di langit tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”. (Depag, 1989 : 136).
Dengan mengenal sifat Allah bahwa Dia Maha Mengetahui apa saja yang kita lakukan dan dimana kita ini melakukannya akan timbul kesadaran bahwa ktia ini selalu diawasi dan dilihat oleh Allah SWT.
Betapa bijaksana Lukmanul Hakim disaat memperkenalkan salah satu sifat Allah SWT kepada putranya, sehingga dapat menyadarkan putranya itu selalu dalam pengawasan dan dilihat oleh Allah SWT, dengan kesadaran seperti itu maka akan melahirkan sifat ihsan yang artinya berbuat baik dan hal inilah yang menjadi kunci dari setiap perbuatan yang baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :


“Hendaklah engkau beribadat (mengabdi) kepada Allah seakan-akan engkau melihat kepada-Nya, sekalipun engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihat engkau” (Hadits Atba’in Nawawi, 79).

Selain itu Lukmanul Hakim juga mengingatkan kepada putranya bahwa setiap perbuatan akan mendapatkan balasannya kelak di akherat, baik yang besar maupun yang kecil, dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

C.    Mendirikan Sholat
Selanjutnya Lukmanul Hakim memberikan pelajaran kepada putranya sebagaimana ayat 17 :



“Hai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah SWT.

Mendirikan shalat adalah ibadah yang paling penting diajaran Islam, shalat merupakan fardhu pertama yang dihisab di hari kiamat kelak sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya amalan seseorang hamba yang mula-mula diperiksa pada hari kiamat ialah shalat, jika amal shalatnya baik maka amal lainnya akan menjadi baik (diterima) jika amal shalatnya rusak maka amal-amal lainnya akan rusak pula (tidak diterima)”. (Abdul Rahman Sahalaeha, 1981 : 45).

Pada hadits di atas Rasulullah SAW menyatakan bahwa jika shalat seseorang itu baik maka beruntunglah orang tersebut di akherat kelak. Sebaliknya jika shalatnya buruk atau kurang sempurna maka orang tersebut di akherat akan rgui. Hal ini menunjukkan bahwa mendirikan shalat merupakan perbuatan yang sangat besar pengaruhnya pada keimanan dan perilaku kita sebagai manusia.
Jadi mendirikan shalat itu merupakan kebutuhan setiap orang muslim, karena ia sendiri di akherat. Itulah sebabnya mendirikan shalat tidak boleh ditinggalkan baik ketika sehat maupun sakit, ketika berada di kampung halaman mukmin maupun saat bepergian, apakah kita sedang sibuk maupun sewaktu senggang. Kewajiban mendirikan shalat itu harus tetap dilakukan. Semua itu membuktikan kita bahwa shalat merupakan kebutuhan hidup setiap muslim.
1.      Manfaat mendirikan shalat
1.1  Mengingatkan kita sebagai hamba Allah SWT. Sering sekali kita lupa bahwa kita diciptakan oleh Allah adalah untuk menyembah dan memperhambakan diri kita kepadanya, sebagaimana firman Allah SWT :


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. (Depag, 1989 : 862).
1.2  Membentuk kepatuhan kita kepada Allah SWT
Islam artinya patuh dan menyerahkan diri kepada Allah SWT, dengan mendirikan shalat, maka identik pula dengan menyembah Allah dalam segenap jiwa, raga, pikiran dan ucapan kita. Karena akan sangat besar pengaruhnya pada keyakinan, sikap serta perbuatan jika shalat dilakukan sesuai dengan perintahnya dan dengan cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga akan terbentuk pribadi muslim yang sebenarnya, yaitu :
            Muslim dalam keyakinannya
            Muslim dalam cara berfikirnya
            Muslim dalam sikapnya
            Muslim dalam akhlak dan perbuatannya
            Muslim dalam segala-galanya.
Tetapi jika shalatnya sudah tidak sesuai lagi dengan perintah Allah dan contoh dari Rasulullah SAW, maka akan melahirkan muslim dalam ucapan tetapi non muslim dalam pikirannya, muslim pikirannya tidak dalam akhlak dan tingkah lakunya, untuk memperbaiki dan meluruskan orang tersebut, maka cara yang paling tepat adalah dengan memperbaiki dan mengkhusukan shalatnya.
1.3  Membersihkan diri dari kotoran dosa
Setiap orang yang melakukan dosa pasti dosa itu akan mengotori hatinya, dan membersihkan dosa itu di antaranya dengan mendirikan shalat. Sebagaimana lazimnya orang yang badannya bersih, ia akan mendekati sesuatu yang dapat mengotori badannya, demikian pula melalui shalat yang secara rutin dilakukan, seorang muslim akan selalu menjaga kebersihan dan kesucian hatinya dari kotoran yang ditiimbulkan oleh dosa-dosa.
1.4  Membersihkan kembali ikrar kita kepada Allah SWT
Apa yang kita ucapkan ketika shalat, akan disambut oleh Allah SWT, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad dalam hadits Qudsi yang artinya :
“Allah SWT berfirman : Allah telah membagi shalat antara Aku dan dan Hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk apa yang dimintanya, kalau hamba itu membaca, Alhamdulillahi rabbil’alamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam), maka Allah berfirman : “Aku telah dipuji oleh hamba-Ku”. Kalau hamba itu membaca arrahmanirrahim (Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka Allah SWT, berfirman : “Aku telah dipuji oleh hamba-Ku, jika hamba itu membaca, Maaliki yaumiddiin (yang menguasi hari balasan), maka Allah SWT, berfirman : Aku telah dimulyakan oleh hamba-Ku”. Jika hamba itu membaca Iyyaakana’budu Wa Iyyakanas ta’iin (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan), maka Allah SWT, berfirman : “ayat ini antara Aku dan hamba-Ku dan Aku memberi apa yang diminta olehnya: Jika hamba itu membaca Ihdinashshiraatahl mustaqiim, shiraathal ladzina an’amta’alaihin, ghairil maghqdlubi’alaihim waladlalliin. (tunjukkanlah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka : bukan (jalan) mereka yang disukai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat. Ini semua bagi hamba-Ku dan Aku memberi apa yang diminta oleh hamba-Ku (Muhammad Zuhri, 1981 – 235).



1.5  Mencegah dari perbuatan keji
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 45, yang berbunyi :



“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu Alkitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Depag, 1989 : 635).

Orang yang selalu mendirikan shalat niscaya akan tetap bersih dan ia akan enggan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengotori hatinya. Dengan demikian ia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar.
1.6  Mendidik untuk memiliki sikap disiplin
Mendirikan shalat telah ditetapkan waktunya, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam surat An-Nissa ayat 103, yang artinya :
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (Depag, 1989 : 138).

Jika seorang muslim itu selalu rajin menunaikan shalat pada waktunya, ia akan terbiasa untuk melaukan segala sesuatu tepat pada waktunya. Menjaga waktu merupakan disiplin yang amat penting dalam kehidupan kita ini, sehingga kita dapat selalu menepati janji dan menghargai waktu.

1.7  Membentuk pribadi berakhlak mulia
“Sesungguhnya berbahagialah orang-orang mukmin, (yaitu) orang-orang yang khusu di dalam sholat mereka, dan orang-orang kehormatannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau tetapi barang siapa yang menghendaki selain yang demikian itu, maka mereka itulah melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka. Dan orang-orang yang memelihara shalat mereka itulah yang mewarisi syurga Firdaus, mereka kekal di dalamnya”. (Depag, 1989 : 527).

Kalau memperhatikan sifat-sifat baik yang tersebut pada ayat-ayat di atas, kita akan mendapati bahwa kumpulan ayat itu dimulai dengan sikap melaukan shalat secara khusus dan diakhiri dengan memelihara shalatnya. Seolah-olah dikatakna bahwa orang yang khusu dalam shalatnya dan selalu memelihara waktu serta kualitas shalatnya, akan dapat memiliki sifat-sifat yang baik itu.
1.8  Berdzikir, menyebut dan mengingat Allah
Di antaran tujuan mendirikan shalat adalah menyebut dan mengingat Allah SWT, yang diistilahkan dengan “dzikir”. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an surat Thaha ayat 14 yang berbunyi :
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat mengingat Aku”. (Depag, 1989 : 147).

Mengacu dari ayat di atas, adapun shalat ini terletak pada menyebutkan dan mengingat Allah (berdzikirullah), sehingga dapat dikatakan bahwa mendirikan shalat adalah berdzikir dengan cara khusus sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasul.
Nilai shalat seseorang, banyak ditentukan oleh kadar kemampuannya dalam memusatkan (mengkonsentrasikan) perhatian, pikiran, ingatan, jiwa dan hatinya kepada Allah SWT.
1.9  Menenangkan jiwa dan menentramkan hati
Shalat juga merupakan penyebab utama bagi ketenangan jiwa dan ketentraman hati. Kalau kita shalat secara khusu maka kita akan dapat mencapai ketentraman hati sebagaimana firman Allah SWT.
2.       
  1.  

D.     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar