Sabtu, 30 Mei 2015

Makalah Masyarakat Madani- zona IAILM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai teori atau konsep, civil society sebenarnya sudah lama dikenal sejak masa Aristoteles pada zaman Yunani Kuno, Cicero, pada zaman Roma Kuno, pada abad pertengahan, masa pencerahan dan masa modern. Dengan istilah yang berbeda – beda, civil society mengamali evolusi pengertian yang berubah dari masa ke masa. Di zaman pencerahan dan modern, istilah tersebut dibahas oleh para filsuf dan tokoh – tokoh ilmu – ilmu social seperti Locke, Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hbermas, Dahrendorf, Gellner dan Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, M, Amien Rais, Fransz, Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS Hikam, Mansour Fakih. Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya buka sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai – nilai kemanusiaan.
Peradaban adalah istilah sebagai terjemahan dari civilization. Asal katanya adalah a-dlb yang artinya adalah kehalusan? (refinement) pembawaan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun, tata – susila, kemanusiaan atau kesastreraan. Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir – akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing –masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.

B.     Rumusan Masalah
Masyarakat maani merupakan konsep yang berwayuh wajah; memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda – beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997) masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market”

C.    Tujuan
Tulisan ini didikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang, lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berprilaku madani melalui perspektif pendidikan.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Pengertian Masyarakat Madani
Secara harfiah, civil society itu sendiri adalah terjemahan dari istilah latin, civilis societas, mula – mula dipakai oleh CICERO (106 – 43. M) seorang orator dan punjangga.
Roma yang pengertianya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political society)  yang memiliki kode hokum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hokum yang mengatur pergaulan antara idividu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu, di zaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya dibawah satu dan lain bentuk hokum sipil (civil law)  sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bias pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.
Rahardjo (1997 – 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, Civil society, Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetusan istilah vivil soviety ialah Cicero (106-43 SM). Sebagai oratur Yunani Kuno. Civil society menurut Cicerio ialah suatu komuntas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hokum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsetransi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Di zaman modern, istilah itu diambil dan dihidupkan lagi oleh John Locke (1632 – 1704) dan Rouseseau (1712 – 1778) untuk mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik” (Political society) Pengertian tentang gejala tersebut  dihadapkan dengan pengertian tentang gejala “otoritas paternal” (paternal authority) atau “keadaan alami” (state of nature) suatu kelompok manusia. Ciri dari suatu masyarakat sipil, selain terdapatnya tata kehidupan politik yang terikat pada hokum, juga danya kehidupan menukar arau perdagangan dalam suatu pasar bebas, demikian pula terjadinya perkembangan teknologi yang dipakai untuk mensejahterakan dan memulaikan hiduip sebagai cirri dari suatu masyarakat yang telah beradab.
Masyarakat pilitik itu sendiri, adalah merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan (socies contact) suatu konsep yang dikemukakan oleh Rouseeseau, seorang filsuf social Prancis abad ke 18. dalam perjanjian kemasyarakata tersebut anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan dan pergaulan bersama. Masyarakat seperti ini membedakan diri dari keadaan alami dari suatu masyarakat.
Dalam konteks locked an Rousseau belum dikenal pembedaan antara masyarakat sipil dan Negara. Karena Negara, lebih khusus lagi, pemerintah adalah meurpakan bagian dan salah satu bentuk masyarakat sipil, bahkan keduanya beraanggapan bahwa masyarakat sipil adalah pemerintahan sipil, yang membedakan diri dari msyarakat alami atau keadaan alami.
Menurut cendikiawan Muslim yang gigih memperjuangkan pembentukan masyarakat madani. Nurcholis Majid istilah “Madani” mengacu pada “madinah” sedangkan kata ini berasal dari kata dasar “dana – Yadinu” yang berarti tuntuk, patuh atau taat. Dari kata dasar inilah terambil kata “din” untuk pengertian “agama” yaitu “ikatan ketaatan”. Jadi isilah “masyarakat madani” yang mengacu pada kta “madinah” (kota) mengandung dalam dirinya konsep pola kehidupan bermasyarakat (bermukim) yang patuh, yaitu pada huku,, dalam hal ini hokum Allah, sebagaimana dipegang agama Islam, jadi God Centred.
Perbincangan tentang masyarakat madani (civil society) di Negara kita pada masa kahir – akhir ini menjadi marak bila dibandingkan dengan masa masa sebelumnya.pembicaraannya bukan hanya muncul di kalangan akademik melalui berbagai pertemuan ilmiah, akan tetapi juga dikemukakan oleh para politisi dalam berbagai forum politik.
Para pejabat kita juga sudah mulai latah bicara tentang hal ini dalam berbagai pidato dan sambutannya seperti presiden dalam pidato kenegaraan, dalam SI MPR dalam peringatan hari besar keagamaan. Mereka bicara menurut visi dan pandangan sendiri – sendiri yang kadang – kadang bertentangan satu sama lain.

2.2.            Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasaratan – prasyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyaratan ini tidak bias dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kelahiran yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksitensi masyarakat madani. Karakteristik tersebut antara lain aalah danya Free Public Suphere, Demokratis, Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (social justice) dan berkeadaban.
1.      Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang public yang berbaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi – transaksi wacana dan praktis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyaratan ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang public secara teoritis bias diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga Negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan public. Warga Negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada public.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang public yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2.      Demokratis
Demokratis merupakan suatu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalankan kehidupan, warga Negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas keshariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis  ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup segala bentuk aspek kehidupan seperti politik, social, budaya pendidika, ekonomi dan sebagainya.
3.      Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing – masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi – menurut Nurchlish Madjid merupakan pesoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda – beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan – gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan tamaddun (civility). Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-induvidu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap social yang berbeda.
4.      Pluralisme
Sebagai sebuah persyaratan penegakan masyarakat madani, maka pularisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang mengahargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa diphami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini merupakan persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya addalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagementof diversities within the bonds of civility) bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (chek and balance).
Lebih lanjut Nurcholis mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak monolik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolik, sama dan sebagun dalam segala segi.
5.      Keadilan Sosial (Social Justice)
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan – kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa)

2.3.            Pilar Penengakan Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah institusi – institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan – kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar – pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supermasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM dalam konteks masyarakat madani juga bertugas mengadakan empowering (pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal – hal yang signifikan dalam kehidupan sehari – hari seperti advokasi, pelatihan dan sosialiasasi program – program pembangunan masyarakat.
Pers; merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadibagian dari sosical control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warganegaranya. Hal tersebut pada akhirnya mengarah pada adanya independensi pers serta mampu menyajikan berita secara objektif dan transparan.
Supermasi Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintah maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hokum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan antar warga Negara dan antar warga Negara dengan pemerintah haruslah dilakukan dengan cara – cara yang damai dan seseuai dengan hokum yang berlaku.
Selain itu, supremasi hokum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma – norma hokum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
Perguruan tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergrak pada jalur moral forece untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan – kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan relitas yang betul – betul objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public)
Sebagai bagian dari pilar penegak masyarakat madani, maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide – ide alternative dan konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi oleh masyarakat. Di sisi lain Perguruan Tinggi memiliki “Tri Dharma Perguruan Tinggi” yang harus dapat diimplementasikan berdasarkan kebutuhan masyarakat (public)
Menurut Riswanda Immawan, Perguruan Tinggi memiliki 3 (tiga) peran yang strategis dalam mewujudkan masyarakat madani,  yakni
1.      Pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis.
2.      Membangun political safety net, yakni dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Political safety net ini setidaknya dapat mencerahkan masyarakat alam memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi.
3.      Melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santum, saling menghormati, demokratis serta meninggalkan cara – cara yang agitatif dan anarkhis.
Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan akan hegemoni Negara, tetapi bagaimanapun sbagai sebuah tempat ekspresi politik warganegara, maka partai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani.

2.4.            Masyarakat Madani dan Demokratisasi
Sebagai titik tolak pembahasan ini adalah mencari penyelesaian dari persoalan tentang “mungkinkah masyarakat madani tegak dalam system yang tidak demokratis? “dan”  apa mungkin demokratis dapat berdiri tegak di tengah masyarakat yang tidak civilized (madani). “Dua persoalan ini merupakan pertanyaan yang mendasar dalam menyikapi hubungan antara demokrasi (demokratisasi) dengan masyarakat madani. Karena bagaimanapun masyarakat madani dan demokratis merupakan dua entitas yang korelatif dan saling berkaitan.
Dalam masyarakat madani, warga Negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non governmental untuk mencapai kebaikan bersama (public good). Karena itu tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap Negara (visa vis the state). Dari sinilah kemudian masyarakat madani dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi.
Masyarakat madani juga dipahami sebagai sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antar warga Negara dengan Negara atas dasar prinsip saling menghormati. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsulatif bukan konfrontatif antara warga Negara an Negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berprilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga Negara sebagai pemegang hak dan kebebesan yang sama (Ramlan Surbakti : 1995)
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi (demokratisasi) menurut Dawam – bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko – eksitensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat berkembang secara wajar.
Dalam konteks ini, Nurcholish Madjid pun memberikan metaphor tentang hubungan dan keterkaitan antara masyarakat madani dengan demoktasisi ini. Menurutnya masyarakat madani merupakan “rumah” persemaian demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus mempunyai “rumah” maka rumahnya adalah masyarakat madani.
Jadi membicarakan hubungan demokrasi dengan masyarakat madani merupakan discourse yang memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini Arief Budiman mengatakan bahw berbicara mengenai demokrasi biasanya orang akan berbicara tentang interaksi antara Negara dan masyarakat madani. Asumsinya adalah, jika masyarakat madani vis a vis Negara relative kuat maka demokrasi akan tetap belangsung. Sebaliknya jika Negara kuat dan masyarkat madani lemah maka demokrasi tidak berjalan. Denga demikian, demokatisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan masyarakat madani.

2.5.            Masyarakat Madani Indonesia
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang para rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi dihampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi – organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah, tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI< SPSI, HKTI dan sebagainya. Organisasi – organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program – programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan control terhadap jalannya roda pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai – partai politik pun tidak berdaya melakukan control terhadap pemerintah dan tawar – menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsure dari masyarakat madani, seperti Nahdatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurahmad Whaid dan Muhammadiyah dengna motor Prof. Drs. Amien keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam.
Era reformasi yang melindas rezim Soerhato (1966 – 1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan Keppres No 198 tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang berbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi didukung oleh Negara  - Negara barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Prisiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Iakatan Cendikiawan Muslim Indonesia) suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya, terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengmbangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademis, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip – prinsip demokrasi, supremasi hokum dan HAM.
Pengamat politik dari UGM Dr. Mohtar Mas’oed (Republika, 3 Maret 1999) yaknibahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melesatarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekauasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga – lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Ketegangan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala disintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka. Hal itu lebih di dorong oleh dosa Rezim Orde Baru dan telah mengabaikan cirri – cirri masyarkat Madani pelanggaran ham tidak tegaknya hokum dan pemerintahan yang sentralisitis (absolute). Sedangkan, kerusuhan yang sering membawa persoalan SARA menunjukan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hokum dan politik (sebagai prasayarat masyarakat madani), disamping menegakkan hokum yang masih belum memuaskan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan dikalangan “Tradisionalis” (termasuk Nahdatul Ulama), bukan oleh kalangan “moderis”  (rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tiak sepenuhnya terakomodasi dalam Negara, bahkan dipingirkan dalam peran kenegaraan. Dikalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non – Negara dan selalu tampil berhadapan dengan Negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah lembaga kajian kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai lemahnya kajian Islam.
Dalam pandangan Gusdur Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk Negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menanamkan dirinya sebagai kepala Negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasayarat bagi kelangsungan Negara (Wahid, 2000 : 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannyabukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai kselematan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979 : 541).
Pandangan plurasisnya didasarkan pada sejarah kehiduan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, disamping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literature hokum agama (al kutub al fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999 : 1) sebagai berikut (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hokum, (2) keselamatan keyakinan awama masing – masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hokum, dan (5) keselamatan profesi.
Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang cosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang Ideal tercapai keseimbangan antara kencenderungan normative kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang nin Muslim (Wahid 1999 : 4) keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikataknnya main mutlak – mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (178 – 1983) tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan gaus, 1998 : XIV) oleh Karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialog antar agama / antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama, Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesame.
Terpilihnya Gus Dur sebagai prisiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komonitas non Negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “Negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identifikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke 18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya Negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas Negara yaitu membantu tugas Negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999 : 3) sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya Negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarkat madani, dimana negara hanya berperan sebagai “polisi” yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu – rambu Pancasila (Wahid, 1991 : 164).


























BAB III
KESIMPULAN

Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Seoharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusahan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main.
Terlahirnya istilah masyarakat Madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “Istilah masyarkat madani” sebagaimana terjemahan civil society”, dalam ceramahnya pada symposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara televise Istiqlal, 26 September 1995, Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran Prof, Naquib Al Attas seorang kontemproror dari negari jiran dalam studinya baru – baru ini. Kemuian mendapat legitimasi dari beberapa pakar termasuk seorang Nurcholis Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah Islam pada artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.










KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Masyarakat Madani”
Penulis menyadari terselesaikannya makalah ini berkat adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
Hanya Allah yang maha Sempurna, penulis sebagai manusia biasa yang penuh khilaf dan lemah sangat menyadari penulisan karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan.


Tasikmalaya,   Nopember 2008
Penyusun














i
 
 


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................        i
Daftar Isi .....................................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................        1
A.    Latar Belakang.................................................................................        1
B.     Rumusan Masalah............................................................................        2
C.     Tujuan..............................................................................................        2
BAB II Pembahasan............................................................................        3
2.1.     Pengertian Masyarakat Madani.....................................................        3
2.2.     Karakteristik Masyarakat Madani.................................................        5
2.3.     Pilar Penegakan Masyarakat Madani............................................        8
2.4.     Masyarakat Madani dan Demokratisasi........................................       10
2.5.     Masyarakat Madani Indonesia......................................................       11
BAB III KESIMPULAN............................................................................       17











                                                                             



ii
 
ii
 
 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar