BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai teori atau konsep, civil society sebenarnya
sudah lama dikenal sejak masa Aristoteles pada zaman Yunani Kuno, Cicero, pada
zaman Roma Kuno, pada abad pertengahan, masa pencerahan dan masa modern. Dengan
istilah yang berbeda – beda, civil society mengamali evolusi pengertian yang
berubah dari masa ke masa. Di zaman pencerahan dan modern, istilah tersebut
dibahas oleh para filsuf dan tokoh – tokoh ilmu – ilmu social seperti Locke,
Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hbermas, Dahrendorf,
Gellner dan Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, M, Amien Rais, Fransz, Magnis
Suseso, Ryaas Rasyid, AS Hikam, Mansour Fakih. Mewujudkan masyarakat madani
adalah membangun kota budaya buka sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi
masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang
berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling
cinta dan kasih yang menghargai nilai – nilai kemanusiaan.
Peradaban adalah istilah sebagai terjemahan dari
civilization. Asal katanya adalah a-dlb yang artinya adalah kehalusan?
(refinement) pembawaan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun, tata –
susila, kemanusiaan atau kesastreraan. Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat
madani semakin marak akhir – akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi
di Indonesia .
Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti
Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo
menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani
tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun memerlukan proses panjang dan
waktu serta menuntut komitmen masing –masing warga bangsa ini untuk mereformasi
diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
B. Rumusan Masalah
Masyarakat maani merupakan konsep yang berwayuh wajah;
memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda – beda. Bila
merujuk kepada Bahasa Inggris ,
ia berasal dari kata civil
society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.
Menurut Blakeley dan Suggate (1997) masyarakat madani sering digunakan untuk
menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market”
C. Tujuan
Tulisan ini didikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan
masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang,
lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan
berprilaku madani melalui perspektif pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Masyarakat Madani
Secara harfiah, civil society itu sendiri adalah
terjemahan dari istilah latin, civilis societas, mula – mula dipakai oleh CICERO (106 – 43. M)
seorang orator dan punjangga.
Roma yang pengertianya mengacu kepada gejala budaya
perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah
masyarakat politik (political society)
yang memiliki kode hokum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hokum
yang mengatur pergaulan antara idividu menandai keberadaan suatu jenis
masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu, di zaman dahulu adalah
masyarakat yang tinggal di kota .
Dalam kehidupan kota
penghuninya telah menundukkan hidupnya dibawah satu dan lain bentuk hokum sipil
(civil law) sebagai dasar dan yang
mengatur kehidupan bersama. Bahkan bias pula dikatakan bahwa proses pembentukan
masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota .
Rahardjo (1997 – 17-24) menyatakan bahwa masyarakat
madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, Civil society, Istilah civil
society sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetusan
istilah vivil soviety ialah Cicero
(106-43 SM). Sebagai oratur Yunani Kuno. Civil society menurut Cicerio ialah
suatu komuntas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode
hokum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota ), maka kota
difahami bukan hanya sekedar konsetransi penduduk, melainkan juga sebagai pusat
peradaban dan kebudayaan.
Di zaman modern, istilah itu diambil dan dihidupkan
lagi oleh John Locke (1632 – 1704) dan Rouseseau (1712 – 1778) untuk
mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik” (Political society)
Pengertian tentang gejala tersebut dihadapkan dengan pengertian tentang gejala
“otoritas paternal” (paternal authority) atau “keadaan alami” (state of nature)
suatu kelompok manusia. Ciri dari suatu masyarakat sipil, selain terdapatnya
tata kehidupan politik yang terikat pada hokum, juga danya kehidupan menukar
arau perdagangan dalam suatu pasar bebas, demikian pula terjadinya perkembangan
teknologi yang dipakai untuk mensejahterakan dan memulaikan hiduip sebagai
cirri dari suatu masyarakat yang telah beradab.
Masyarakat pilitik itu sendiri, adalah merupakan hasil
dari suatu perjanjian kemasyarakatan (socies contact) suatu konsep yang
dikemukakan oleh Rouseeseau, seorang filsuf social Prancis abad ke 18. dalam
perjanjian kemasyarakata tersebut anggota masyarakat telah menerima suatu pola perhubungan
dan pergaulan bersama. Masyarakat seperti ini membedakan diri dari keadaan
alami dari suatu masyarakat.
Dalam konteks locked an Rousseau belum dikenal
pembedaan antara masyarakat sipil dan Negara. Karena Negara, lebih khusus lagi,
pemerintah adalah meurpakan bagian dan salah satu bentuk masyarakat sipil,
bahkan keduanya beraanggapan bahwa masyarakat sipil adalah pemerintahan sipil,
yang membedakan diri dari msyarakat alami atau keadaan alami.
Menurut cendikiawan Muslim yang gigih memperjuangkan pembentukan
masyarakat madani. Nurcholis Majid istilah “Madani” mengacu pada “madinah”
sedangkan kata ini berasal dari kata dasar “dana – Yadinu” yang berarti tuntuk,
patuh atau taat. Dari kata dasar inilah terambil kata “din” untuk pengertian
“agama” yaitu “ikatan ketaatan”. Jadi isilah “masyarakat madani” yang mengacu
pada kta “madinah” (kota) mengandung dalam dirinya konsep pola kehidupan
bermasyarakat (bermukim) yang patuh, yaitu pada huku,, dalam hal ini hokum
Allah, sebagaimana dipegang agama Islam, jadi God Centred.
Perbincangan tentang masyarakat madani (civil society)
di Negara kita pada masa kahir – akhir ini menjadi marak bila dibandingkan
dengan masa masa sebelumnya.pembicaraannya bukan hanya muncul di kalangan
akademik melalui berbagai pertemuan ilmiah, akan tetapi juga dikemukakan oleh
para politisi dalam berbagai forum politik.
2.2.
Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan
untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani
diperlukan prasaratan – prasyaratan yang menjadi nilai universal dalam
penegakan masyarakat madani. Prasyaratan ini tidak bias dipisahkan satu sama
lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu
kelahiran yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksitensi masyarakat
madani. Karakteristik tersebut antara lain aalah danya Free Public Suphere,
Demokratis, Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (social justice) dan
berkeadaban.
1.
Free Public Sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya
ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang
public yang berbaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi – transaksi wacana dan praktis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Aksentuasi prasyaratan ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas.
Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang public secara teoritis bias diartikan
sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga Negara memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan public. Warga Negara berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta
mempublikasikan informasi kepada public.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan
mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik
sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan
menafikan adanya ruang public yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka
akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam
menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa
yang tiranik dan otoriter.
2.
Demokratis
Demokratis merupakan suatu entitas yang menjadi
penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalankan kehidupan, warga
Negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas keshariannya,
termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat
dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya
dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang
mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu
syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi
(demokratis) di sini dapat mencakup segala bentuk aspek kehidupan seperti
politik, social, budaya pendidika, ekonomi dan sebagainya.
3.
Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam
masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati
aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan
adanya kesadaran masing – masing individu untuk menghargai dan menghormati
pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang
berbeda. Toleransi – menurut Nurchlish Madjid merupakan pesoalan ajaran dan
kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara
pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda – beda, maka hasil
itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang
benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani
(civil society) lebih dari sekedar gerakan – gerakan pro demokrasi. Masyarakat
madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan tamaddun (civility).
Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-induvidu untuk
menerima pandangan-pandangan politik dan sikap social yang berbeda.
4.
Pluralisme
Sebagai sebuah persyaratan penegakan masyarakat
madani, maka pularisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah
tatanan kehidupan yang mengahargai dan menerima kemajemukan dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa diphami hanya dengan sikap
mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai
dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai
bernilai positif merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini
merupakan persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya
addalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagementof diversities within the
bonds of civility) bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan (chek and balance).
Lebih lanjut Nurcholis mengatakan bahwa sikap penuh
pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk,
yakni masyarakat yang tidak monolik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan
masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia.
Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolik, sama dan sebagun dalam segala
segi.
5.
Keadilan Sosial (Social Justice)
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan
dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara
yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya
monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok
masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh
kebijakan – kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa)
2.3.
Pilar Penengakan Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani
adalah institusi – institusi yang menjadi bagian dari social control yang
berfungsi mengkritisi kebijakan – kebijakan penguasa yang diskriminatif serta
mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat
madani, pilar – pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), Pers, Supermasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah institusi sosial
yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu
LSM dalam konteks masyarakat madani juga bertugas mengadakan empowering
(pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal – hal yang signifikan dalam
kehidupan sehari – hari seperti advokasi, pelatihan dan sosialiasasi program –
program pembangunan masyarakat.
Pers; merupakan institusi yang penting dalam penegakan
masyarakat madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadibagian
dari sosical control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai
kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warganegaranya. Hal tersebut pada akhirnya
mengarah pada adanya independensi pers serta mampu menyajikan berita secara
objektif dan transparan.
Supermasi Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk
dalam formasi pemerintah maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan)
hokum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan
antar warga Negara dan antar warga Negara dengan pemerintah haruslah dilakukan
dengan cara – cara yang damai dan seseuai dengan hokum yang berlaku.
Selain itu, supremasi hokum juga memberikan jaminan
dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang
melanggar norma – norma hokum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia,
sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
Perguruan tinggi; yakni tempat dimana civitas
akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan
masyarakat madani yang bergrak pada jalur moral forece untuk menyalurkan
aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan – kebijakan pemerintah,
dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada
jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan relitas yang betul – betul
objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public)
Sebagai bagian dari pilar penegak masyarakat madani,
maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide – ide
alternative dan konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi
oleh masyarakat. Di sisi lain Perguruan Tinggi memiliki “Tri Dharma Perguruan
Tinggi” yang harus dapat diimplementasikan berdasarkan kebutuhan masyarakat
(public)
Menurut Riswanda Immawan, Perguruan Tinggi memiliki 3
(tiga) peran yang strategis dalam mewujudkan masyarakat madani, yakni
1.
Pemihakan yang tegas pada prinsip
egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis.
2.
Membangun political safety net,
yakni dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan
tidak manipulatif. Political safety net ini setidaknya dapat mencerahkan
masyarakat alam memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi.
3.
Melakukan tekanan terhadap
ketidakadilan dengan cara yang santum, saling menghormati, demokratis serta
meninggalkan cara – cara yang agitatif dan anarkhis.
Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara
untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi
politis dan rawan akan hegemoni Negara, tetapi bagaimanapun sbagai sebuah
tempat ekspresi politik warganegara, maka partai politik ini menjadi prasyarat
bagi tegaknya masyarakat madani.
2.4.
Masyarakat Madani dan Demokratisasi
Sebagai titik tolak pembahasan ini adalah mencari
penyelesaian dari persoalan tentang “mungkinkah masyarakat madani tegak dalam
system yang tidak demokratis? “dan” apa
mungkin demokratis dapat berdiri tegak di tengah masyarakat yang tidak
civilized (madani). “Dua persoalan ini merupakan pertanyaan yang mendasar dalam
menyikapi hubungan antara demokrasi (demokratisasi) dengan masyarakat madani.
Karena bagaimanapun masyarakat madani dan demokratis merupakan dua entitas yang
korelatif dan saling berkaitan.
Dalam masyarakat madani, warga Negara bekerjasama
membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang
bersifat non governmental untuk mencapai kebaikan bersama (public good). Karena
itu tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya
terhadap Negara (visa vis the state). Dari sinilah kemudian masyarakat madani
dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan
demokratisasi.
Masyarakat madani juga dipahami sebagai sebuah tatanan
kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antar warga Negara dengan
Negara atas dasar prinsip saling menghormati. Masyarakat madani berkeinginan
membangun hubungan yang konsulatif bukan konfrontatif antara warga Negara an
Negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berprilaku sebagai
citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal
right, memperlakukan semua warga Negara sebagai pemegang hak dan kebebesan yang
sama (Ramlan Surbakti : 1995)
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi
(demokratisasi) menurut Dawam – bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat
ko – eksitensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat
ditegakan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat
berkembang secara wajar.
Dalam konteks ini, Nurcholish Madjid pun memberikan
metaphor tentang hubungan dan keterkaitan antara masyarakat madani dengan demoktasisi
ini. Menurutnya masyarakat madani merupakan “rumah” persemaian demokrasi.
Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahasia.
Namun demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus
mempunyai “rumah” maka rumahnya adalah masyarakat madani.
Jadi membicarakan hubungan demokrasi dengan masyarakat
madani merupakan discourse yang memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat.
Dalam hal ini Arief Budiman mengatakan bahw berbicara mengenai demokrasi biasanya
orang akan berbicara tentang interaksi antara Negara dan masyarakat madani.
Asumsinya adalah, jika masyarakat madani vis a vis Negara relative kuat maka
demokrasi akan tetap belangsung. Sebaliknya jika Negara kuat dan masyarkat
madani lemah maka demokrasi tidak berjalan. Denga demikian, demokatisasi
dipahami sebagai proses pemberdayaan masyarakat madani.
2.5.
Masyarakat Madani Indonesia
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang para
rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan
birokratisasi dihampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya
organisasi – organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah, tunggal,
seperti MUI, KNPI, PWI< SPSI, HKTI dan sebagainya. Organisasi – organisasi
tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan
program – programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan control terhadap
jalannya roda pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik
(political societies), sehingga partai – partai politik pun tidak berdaya
melakukan control terhadap pemerintah dan tawar – menawar dengannya dalam
menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki
basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam
mempresentasikan diri sebagai unsure dari masyarakat madani, seperti Nahdatul
Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurahmad Whaid dan Muhammadiyah dengna motor
Prof. Drs. Amien keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam
pemahaman ajaran Islam.
Era reformasi yang melindas rezim Soerhato (1966 –
1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa
transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta
kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai
kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan Keppres No 198 tahun 1998 tanggal 27
Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan
mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani
dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas
dan keamanan yang berbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus
turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi
didukung oleh Negara - Negara barat yang
menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Prisiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Iakatan
Cendikiawan Muslim Indonesia) suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam,
dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya, terbentuknya ICMI merupakan suatu
keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah
sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengmbangan konsep masyarakat
madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh
dalam Pemilu 1997. kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas
dari para politisi, akademis, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa
berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan
prinsip – prinsip demokrasi, supremasi hokum dan HAM.
Pengamat politik dari UGM Dr. Mohtar Mas’oed
(Republika, 3 Maret 1999) yaknibahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa
membantu menciptakan atau melesatarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang
belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru
bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi
adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian
kekauasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan
pengembangan lembaga – lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik di
samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan
yang terbuka dan partisipatoris.
Ketegangan di Indonesia tidak hanya dalam wacana
politik saja, tetapi diperparah dengan gejala disintegrasi bangsa terutama
kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Papua Merdeka. Hal itu
lebih di dorong oleh dosa Rezim Orde Baru dan telah mengabaikan cirri – cirri
masyarkat Madani pelanggaran ham tidak tegaknya hokum dan pemerintahan yang
sentralisitis (absolute). Sedangkan, kerusuhan yang sering membawa persoalan
SARA menunjukan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hokum dan politik
(sebagai prasayarat masyarakat madani), disamping menegakkan hokum yang masih
belum memuaskan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak
disuarakan dikalangan “Tradisionalis” (termasuk Nahdatul Ulama), bukan oleh
kalangan “moderis” (rumadi, 1999). Hal
ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tiak
sepenuhnya terakomodasi dalam Negara, bahkan dipingirkan dalam peran
kenegaraan. Dikalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami
sebagai masyarakat non – Negara dan selalu tampil berhadapan dengan Negara.
Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, mereka
mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah lembaga kajian kiri Islam, namun
disamarkan keluar sebagai lemahnya kajian Islam.
Dalam pandangan Gusdur Islam sebagai agama universal
tidak mengatur bentuk Negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga
Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menanamkan dirinya sebagai kepala Negara Islam
dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasayarat bagi
kelangsungan Negara (Wahid, 2000 : 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi
dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan
memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena
tujuannyabukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik
manusia dalam mencapai kselematan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan
kesejahteraan (Schacht, 1979 : 541).
Pandangan plurasisnya didasarkan pada sejarah kehiduan
Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, disamping tentunya sifat
universalisme Islam. Dalam islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar
dalam literature hokum agama (al kutub al fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan
Wahid (1999 : 1) sebagai berikut (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari
tindakan badani di luar ketentuan hokum, (2) keselamatan keyakinan awama masing
– masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga
dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur
hokum, dan (5) keselamatan profesi.
Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam
yang cosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas
budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang Ideal tercapai
keseimbangan antara kencenderungan normative kaum Muslimin dan kebebasan
berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang nin Muslim (Wahid 1999 : 4)
keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap
ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah
pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena
setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan
diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikataknnya main mutlak –
mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha
membangun kebersamaan dalam kehidupan beragama, yang tidak hanya didasarkan
pada toleransi model kerukunan (ko eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat
Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (178 – 1983)
tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan gaus, 1998 : XIV)
oleh Karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialog antar agama / antar imam,
bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie,
yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian
antaragama, Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang
orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan
ketulusannya untuk pengabdian pada sesame.
Terpilihnya Gus Dur sebagai prisiden sebenarnya
menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU
karena NU yang dulu menjadi komonitas non Negara dan selalu menjadi kekuatan
penyeimbang, kini telah menjadi “Negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan
identifikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU
memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah
dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke 18
dimaksudkan untuk mencegah lahirnya Negara otoriter, maka NU harus memerankan
fungsi komplemen terhadap tugas Negara yaitu membantu tugas Negara ataupun
melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Negara, misalnya pengembangan
pesantren (Rumadi, 1999 : 3) sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya
Negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarkat madani,
dimana negara hanya berperan sebagai “polisi” yang menjaga lalu lintas
kehidupan beragama dengan rambu – rambu Pancasila (Wahid, 1991 : 164).
BAB III
KESIMPULAN
Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Seoharto
pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusahan berbau
SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum
berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa
menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi
kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada
aturan main.
Terlahirnya istilah masyarakat Madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan
Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan
Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “Istilah masyarkat
madani” sebagaimana terjemahan civil society”, dalam ceramahnya pada symposium
nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara televise Istiqlal, 26 September
1995, Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran
Prof, Naquib Al Attas seorang kontemproror dari negari jiran dalam studinya
baru – baru ini. Kemuian mendapat legitimasi dari beberapa pakar termasuk
seorang Nurcholis Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat
madani dalam sejarah Islam pada artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Masyarakat
Madani”
Penulis
menyadari terselesaikannya makalah ini berkat adanya bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat :
Hanya Allah yang maha Sempurna,
penulis sebagai manusia biasa yang penuh khilaf dan lemah sangat menyadari
penulisan karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Tasikmalaya, Nopember
2008
Penyusun
|
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ............................................................................................ i
Daftar
Isi ..................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................ 2
C.
Tujuan.............................................................................................. 2
BAB
II Pembahasan............................................................................ 3
2.1.
Pengertian Masyarakat
Madani..................................................... 3
2.2.
Karakteristik Masyarakat
Madani................................................. 5
2.3.
Pilar Penegakan Masyarakat
Madani............................................ 8
2.4.
Masyarakat Madani dan
Demokratisasi........................................ 10
2.5.
Masyarakat Madani Indonesia ...................................................... 11
BAB
III KESIMPULAN............................................................................ 17
|
||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar