MAKALAH
ILMU POLITIK
IDEOLOGI
PERANG DUNIA KE-3 NON BLOK DAN SOSIALISME PEMBANGUNAN
DISUSUN OLEH :
NAMA : DADANG MARYADI
: RUSDIANSYAH PUTRA
INSTITUT AGAMA ISLAM LATIFAH
MUBAROKIYAH
Pendahuluan
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan makalah dengan judul Ideologi
dunia ke tiga dapat berjalan tanpa
halangan yang berarti, dari awal sampai selesai.
Penulisan makalah ini
berdasarkan literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat
terbatas sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun
makalah yang disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan
mahasiswa lain pada umumnya.
Dalam kesempatan ini disampaikan terima kasih atas
bimbingan, bantuan serta saran dari berbagai pihak.
Ilmu politik merupakan salah
satu ilmu tertua dari berbagai ilmu yang ada. Meskipun beberapa cabang ilmu
pengetahuan yang ada telah mencoba melacak asal-usul keberadaannya hingga zaman
yunani kuno, akan tetapi hasil yang dicapai tidak segemilang apa yang telah
sicapai oleh ilmu politik. Ketika kita menggunakan istilah ideology baik dalam
bahasa social, politik maupun wacana kehidupan sehari-hari, berarti kita menggambarkan
sebuah konsep yang memiliki sejarah panjang dan kompleks. Dalam makalah kami
akan memaparkan tentang sosialisme pembangunan dan ideology dunia ke-tiga non
blok. Pengertian non blok adalah tidak
berat sebelah ataupun tidak memihak (netral), bagaimana sejarah singkat
pergerakan non blok, dan membahas yang berkenaan dengan pembangunan ataupun
perkembangan namun pembangunan disini bukanlah pembangunan benda akan tetapi
pembangunan manusia dan kepuasan kebutuhan pokok dari manusia itu sendiri
(Varma s.p 2001 :512). Bagaimana juga merosotnya peranan ideology dan dalam
makalah kami dipaparkan tentang apa tujuan dari didirikannya pergerakan non
blok.
Pembahasan
Politik non blok atau non alignment setelah Perang Dunia
ke II, dimana ketika situasi politik internasional ditandai dengan adanya perundingan
antar blok barat dan blok timur ditengah tengah perang dinginnya paham itu
berkembanglah gagasan yang terwujud
menjadikan Gerakan Non Blok ataupun Non Alignment Movement. Pengejawantahannya
yang pertama adalah Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, Yugoslavia
1-6 September 1961.
Gerakan Non Blok ini juga bertujuan untuk mewujudkan
perdamaian dunia berdasarkan pelaksanaan universal dari prinsip-prinsip hidup
berdampingan secara damai, menentang imperialisme, kolonialisme,
neokolomalisme, perbedaan warna kulit termasuk zionisme dan segala bentuk
ekspansi, dominasi dan pemusatan kekuasaan.
Sedangkan beberapa tujuan lainnya adalah sebagai berikut
yang mana memajukan usaha kearah perdamaian dunia dan hidup berdampingan secara
damai dengan jalan memperkokoh peranan PBB menjadi alat yang lebih efektif bagi
usahausaha perdamaian dunia, menyelesaikan persengketaan internasional diantara
negara-negara anggotanya secara damai dan juga mengusahakan tercapainya pelucutan
senjata secara umum dan menyeluruh di bawah pengawasan internasional yang
efektif.
Dalam perjalanan sampai dengan
sekarang ini Gerakan Non Blok telah melakukan 10 KTT. Tiap KTT mempunyai warna
dan ciri sendiri-sendiri. Dari warna dan ciri tersebut dapat diketahui
partisipasi Gerakan Non Blok dalam turut memecahkan persoalan-persoalan dunia
dengan tetap mengadakan konsolidasi terhadap tubuh Gerakan agar tetap
mengadakan atau agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan pokok
Non Blok.
Sejarah singkat tentang pergerakan non blok
yatiu Gerakan Non Blok pertama sekali dicetuskan pada awal tahun 6o-an, yang
merupakan tekad dari negara-negara merdeka dalam melancarkan aksi politiknya
dalam menghadapi situasi dunia yang ditandai dengan memuncaknya perang dingin
antara Blok Barat dan Blok Timur. Konferensi Asia Afrika di Bandung tanggal 18
April 1955 yang telah menelorkan semangat Bandung, yang berintikan perdamaian,
kemerdekaan, kerjasama Internasional untuk kepentingan bersama dan hidup berdampingan
secara damai adalah merupakan tonggak perjuangan bangsa-bangsa yang dijajah oleh
Barat dari pelbagai belahan dunia.
Para pemimpin besar dunia Nassar (Mesir), Tito (Yugoslavia ), Nehru (India ),
Kwame Nkrumah (Ghana), dan Sukarno (INDONESIA) di Majelis Umum PBB
ke-25 tahun 1960 menyuarakan resolusi untuk meredakan ketegangan Tirnur dan
Barat dan diadakannya perundingan antara 2 musuh bebuyutan itu serta mencegah
konflik terbuka.
Resolusi ini berlanjut dalam bentuk gerakan yang tidak mau terlibat
atau terikat oleh dua blok tersebut. Tiga tokoh utama pendiri Non Blok yaitu:
Tito, Nehru, Nasser telah menyiapkan sejak
awal 1950, Bung Karno dan Nkrumah disebut pula sebagai pendiri gerakan itu. Prakarsa-prakarsa
lima kepala
negara yang lebih dikenal dengan "The Initiatif Five" yang mengawali
sejarah tirnbulnya sejarah GNB yang ada sampai sekarang ini (Ningrum 2003).
Masalah Pembangunan, bagi mayoritas masyarakat, dianggap
sebagai suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, infrastruktur
masyarakat, dan lain sebagainya, sehingga istilah “pembangunan” sering kali
disejajarkan dengan istilah “perubahan sosial”. Bagi penganut pandangan ini,
konsep pembangunan adalah berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan lain,
seperti pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme,
pembangunan model Indonesia ,
dan lain sebagainya. Dengan demikian, teori pembangunan merupakan sebuah teori
sosial ekonomi yang bersifat sangat umum.Di lain pihak, terdapat suatu
pandangan yang lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata
“pembangunan” itu sendiri adalah sebuah “discourse” atau suatu pendirian, suatu
paham, atau bahkan disebut suatu ideologi tertentu terhadap perubahan sosial.
Dalam pandangan ini, konsep pembangunan itu sendiri bukanlah merupakan kata
yang bersifat netral, melainkan suatu “aliran” dan keyakinan ideologi dan
teoretik serta praktek mengenai perubahan sosial, sebagaimana teori-teori
sosialisme, dependensia atau teori-teori lainnya. Dengan demikian, teori
pembangunan dapat diangap sebagai “pembangunanisme” atau “developmentalism”(Slamet
Santoso: 2007).
Gagasan dan teori pembangunan sampai
saat ini telah dianggap sebagai “agama baru” karena mampu menjanjikan untuk
dapat memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami
oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Istilah pembangunan atau
development tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan
proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas.
Setiap program Pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada
konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan (Mansour Fakih:2004).
Konsep Pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma Pembangunan Model Barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, penaksiran konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Pembangunan seringkali di identikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman , sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan.
Sedangkan menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain adalah hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua dan berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.Hasil penelitian dari Institute of Development and Economic Analysis (2001), menyimpulkan tiga catatan penting tentang pelaksanaan pembangunan di Negara Indonesia, yaitu : 1) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia terjebak ke dalam perangkap ide-ide pembangunan neo-liberal yang menyesatkan; 2) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia juga terjebak ke dalam arus ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam jumlah yang semakin lama semakin besar dan sangat memberatkan; dan 3) Meskipun sampai batas-batas tertentu telah mengungkapkan terjadinya perubahan, tetapi pelaksanaan pembangunan di Indonesia ternyata juga mengakibatkan semakin jauhnya Indonesia terjebak dalam lilitan hutang luar negeri. Beban hutang luar negeri cenderung berubah menjadi “upeti” kepada pusat-pusat kapilaisme global. Sebagai sebuah “upeti”, maka secara empiris sangat wajar jika terjadi arus transfer negatif modal bersih (net negative transfer) dalam transaksi hutang luar negeri Indonesia, dan hal tersebut sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya stagnasi dan kemerosotan alokasi anggaran negara untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa jerat hutang luar negeri tersebut yang menyebabkan perekonomian Indonesia masuk ke jurang krisis ekonomi dan politik. Menurut almond untuk ada lima persyaratan untuk perkembangan ialah sebagai berikut :
Konsep Pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma Pembangunan Model Barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, penaksiran konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Pembangunan seringkali di identikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman , sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan.
Sedangkan menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain adalah hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua dan berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.Hasil penelitian dari Institute of Development and Economic Analysis (2001), menyimpulkan tiga catatan penting tentang pelaksanaan pembangunan di Negara Indonesia, yaitu : 1) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia terjebak ke dalam perangkap ide-ide pembangunan neo-liberal yang menyesatkan; 2) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia juga terjebak ke dalam arus ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam jumlah yang semakin lama semakin besar dan sangat memberatkan; dan 3) Meskipun sampai batas-batas tertentu telah mengungkapkan terjadinya perubahan, tetapi pelaksanaan pembangunan di Indonesia ternyata juga mengakibatkan semakin jauhnya Indonesia terjebak dalam lilitan hutang luar negeri. Beban hutang luar negeri cenderung berubah menjadi “upeti” kepada pusat-pusat kapilaisme global. Sebagai sebuah “upeti”, maka secara empiris sangat wajar jika terjadi arus transfer negatif modal bersih (net negative transfer) dalam transaksi hutang luar negeri Indonesia, dan hal tersebut sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya stagnasi dan kemerosotan alokasi anggaran negara untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa jerat hutang luar negeri tersebut yang menyebabkan perekonomian Indonesia masuk ke jurang krisis ekonomi dan politik. Menurut almond untuk ada lima persyaratan untuk perkembangan ialah sebagai berikut :
1. keberturut-turut
dalam tahap-tahap perkembangan.
2.
terdapatnya
sumber-sumber.
3. perkembangan yang
sejalan (serupa) dari sistem-sistem social lainnya.
4.
kemampuannya
system politik yang cukup hakiki da,
5. tanggapan yang cukup
oleh golongan elit terhadap tantangan-tantangan.
Telah
kami tuliskan pada halamam yang pertama bahwa pembangunan bukanlah pembangunan
atau perkembangan benda. Namun lebih menekankan kepada kepuasan kebutuhan pokok
mereka misalnya makanan, papan, sandang, kesehatan, dan pendidikan. Dengan kata
lain lebih mengutamakan sosialis. Suatu proses pertumbuhan atau pembangunan
yang tidak menghasilkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok itu tidak dapat
dianggap sebagai pengembangan (Varma S.P 2001 :513).
Dalam
perkembangan atau pembangunan peranan kaum elit memainkan peranan yang penting
sekali dalam seluruh proses perkembangan. Masyarakat yang mempunyai golongan
elit yang fungsional dapat mencapai banyak kemajuan sedangkan masyarakat yang
tidak begitu beruntungan mengalami kesukaran untuk bergerak ke arah
pembangunan. Biasanya kaum elit itu ada yang berfungsi dan ada yang tidak
berfungsi, untuk melihat berfungsi atau tidaknya perlu
pertimbangan-pertimbangan kecakapan, kemangkusan, keterampilan dan kelihaian
(kecerdikan) politik, tetapi juga oleh pertimbangan-pertimbangan moral.
KESIMPULAN
Gerakan Non Blok dalam
kepemimpinan Indonesia yang diketuai oleh Presiden Soeharto telah
memperlihatkan niat dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menemukan kembali
kearah Gerakan Non Blok yang seutuhnya dan berusaha mengembangkan usaha-usaha
nyata seperti kerjasama selatan-selatan dan selain itu juga menghidupkan
kembali dialog utara-selatan.
Untuk penyelesaian hutang negara-negara selatan yang
dari waktu kewaktu jumlah semakin membesar dan semakin melilit, Indonesia
sebagai negara pemimpin Gerakan Non Blok dihadapkan pada tantangan-tantangan
yang cukup berat.
Penyebabnya tidak saja diakibatkan oleh kesulitan
ekonomi negara-negara maju tetapi juga dengan semakin umumnya pola menjadikan
uang sebagai komoditi. Keduanya menjadikan dana dunia semakin terbatas dalam
situasi seperti ini, mengingat jumlah negara selatan sendiri relatif banyak,
berarti diantara mereka sendiri amat mungkin terjadi persainganketat karena
masing-masing akan mendahulukan kepentingan nasionalnya.
Terdapat tendensi bahwa Gerakan Non Blok ini telah
bergerak dari gerakan yang bersifat politis menuju gerakan yang bersifat mitra
dan lebih terfokus semula yaitu menentang blok politis yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar