AIR MATA CINTA
Cinta
tidak menyadari kedalamannya sampai ada saat perpisahan
Pada bulan Juni, saat orang – orang berbondong – bondong meninggalkan kota berarak ke egunungan untuk menghindari sengatan
cahaya matahari, aku berangkat ke kuil menemui Selma . Di tanganku terapit membawa sebuah
buku puisi Spanyol. Setiba di kuil aku duduk menunggu kehadiran Selma, sambil
membolak – balik halaman – halaman buku puisi itu, membacanya untuk memenuhi
dahaga hatiku dengan gairah yang meninggi, membawa pikiranku dalam ingatan atas
para raja, pra penair, para kstatia yang melambaikan tangan perpisahan di kota
Granada. Pergi meninggalkan istana, lembaga – lembaga, serta harapan dengan
tetesan arimata dan dukacita hati terdalam. Tak lama kemudian aku melihat Selma berjalan dari arah
taman menuju kuil, sambil memegang sebuah paying, seolah sepeti menanggung
beban kepedihan hidup di pundaknya. Begitu Selma masuk kuil dan duduk
disampingku, aku merasakan beberapa perubahan di matanya tapi aku enggan untuk
menanyakannya.
Aku bertanya padanya, “apakah suamimu mengetahui bahwa kita selalu sering
bertemu di sini?”
Selma menjawab, “Suamiku sangat tak peduli kepadaku, dia juga tidak tahu
bagaimana aku menghabiskan hari – hariku, karena dia terlalu asik dengan gadis
– gadis yang malang itu, yang kemiskinannya telah membuat mereka berada di
rumah – rumah pelacuran, gadis – gadis yang menjual tubuhnya demi roti yang di
hiasi oleh darah dan airmata.”
Aku bertanya lagi, “Apa ada yang menghalangimu datang ke kuil ini dan
duduk berdampingan denganku tanpa pernah merasa hilang kehormatanmu di hadapan
Tuhan? Ataukah jiwamu memang telah jenuh dan menghendaki perpisahan kita?’
“Apa maksudmu, Selma ,
dan siapa sebenarnya yang aku takuti?”
Ia menutup mukanya dengan tangan sambil berkata terpatah – patah,”Pendeta
paman suamiku itu telah mengetahui bahwa aku selalu meninggalkan rumah yang
telah menguburku itu”
“Apakah pendeta jahat itu juga mengetahui pertemuan – pertemuan kita di
sini?” tanyaku.
Aku menjawab, “Barangsiapa yang belum pernah merasakan gigitan ular dan
tercabik oleh kuku taring serigala kegelapan, akan selamanya tertipu oleh
lingkar waktu dan pergantian siang dan malam. Tapi dengarkanlah baik – baik, Selma . Apakah perpisahan
satu – satunya cara menghindari kejahatan dan kepicikan satu – satunya cara
menghindari kejahatan dan kepicikan orang – orang? Sudahkah jalan cinta dan
kebebasan tertutup dan tidak ada lagi yang tingal selain penyerahan diri
terhadap hasrat nafsu budak kematian?”
Dan Selma menjawab, “Tidak ada lagi yang tinggal kecuali perpisahan dan
bersama untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Dengan jiwa yang menggelora kau pegang erat tangannya dan dengan penuh
gairah kekuatan padanya, “Selama ini kita telah mengikuti irama kemauan orang –
orang itu. Sejak kita telah mengikuti irama kemauan orang – orang itu. Sejak
kita bertemu sampai saat ini kita telah diasuh oleh orang buta atau beramai –
ramai dengan mereka kita telah menyembah berhala – berhala. Sejak pertama kali
bertemu, kita telah berada dalam tangan pendeta itu seperti batu kerikil yang
ia lempar sesuka hatinya. Apakah kita juga akan menyerah pada keingiannya
sampai ajal merenggut kita berdua? Apakah memang Tuhan menakdirkan kita nafas
kehidupan hanya untuk diletakkan dibawah kaki – kaki kematian? Apakah kebebasan
untuk kita tidak lebih dari sebuah bayangan perbudakan? Siapa yang telah
memadamkan api jiwanya dengna tangannya sendiri ia adalah manusia otor di mata
Tuhan, karena itu Dialah sang penyulut api yang membakar jiwa manusia. Jadi
siapa yang tidak memberontak melawan penindasan, berarti sedang melakukan
ketidakadilan.
“Aku cinta padamu, Selma ,
dank au pun mencintaiku. Dan cinta adalah pemberian Tuhan untuk jiwa – jiwa
yang peka dan suci. Haruskah kita telantarkan kekayaan ini dan kita biarkan
para babi itu memporak – porandakan dan menghancurkannya? Dunia memang penuh
keajaiban dan keindahan, lalu mengapa kita hidup dalam lubang sempit yang
digali oleh pendeta itu untuk kita? Hidup seharusnya penuh dengna kebahagiaan
dan kebebasan, tapi mengapa kita tetap membiarkan beban belenggu di pundak kita
dan mari kita patahkan rantai – rantai yang menjerat kaki – kaki kita, lalu
menyusur bebas menuju jaln kedamaian?
“Bangunlah danmari kita tinggalkan kuil kecil ini menuju kuil agung
Tuhan. Kita harus tinggalkan negeri ini dengan semua perbudakan dan
kebodohannya menuju negeri lain yang jauh dan tak dilumuri oleh tangan – tangan
para pencuri. Kita pergi ke pantai di bawah petunjuk malam lalu berlayar dengan
perahu yang akan membawa kita mengarungi lautan, tempat kita akan menemukan
kehidupan baru yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Ayo, jangan membuang buang
waktu, Selma ,
karena setiap detik saat ini kita lebih berharga daripada seinggasana untuk
para bidadari. Mari kita ikuti berkas cahaya yang akan menuntun kita dari
lembah tandus ini menuju padang
menghijau tempat persemaian ilalang dan bunga – bunga.”
“Jangan lagi bicara tentang kebahagiaan kepadaku, sebab kenangan pada
kebahagiaan kepadaku, sebab kenangan pada kebahagiaan itu hanya akan membuatku
menderita. Jangan sebut – sebut lagi kedamaian padaku, karena baying – baying
kedamaian itu hanya akan membuat aku takut. Tapi padanglah aku, dan akan
kuperlihatkan padamu Obor Suci yang telah dinyalakan oleh Tuhan dengan puing-
puing hatiku. Engkau tahu bahwa aku mencintaimu seperti seorang ibu mencintai
anak satu – satunya, dan cinta hanya mengajariku melindungimu, bahkan terhadap
diriku. Cintailah yang disucikan dengan api yang telah mencegahku mengikutimu
ke negeri paling jauh. Cinta telah memadamkan nafsuku agaraku bisa hidup bebas.
Cinta yang terbatas ingin memiliki yang dicintai, tapi cinta yang terbatas hanya menginginkan cinta
itu sendiri. Cinta yang tumbuh dalam perpaduan kenaifan dan gairah masa muda,
memuaskan diri dengan memiliki dan tumbuh dalam pelukan. Tapi cinta yang
dilahirkan besama segala rahasi amalam tidak pernah puas dengan apapun selain
Keabadian dan kelestarian dan ia hanya membungkus dan patuh kepada Tuhan.
“Ketika aku tahu bahwa pendeta tua itu berniat menghalangiku meninggalkan
rumah dan merampas dariku kesenanganku satu – satunya, aku berdiri di depan
jendela kamarku dan memandang ke laut, memikirkan negeri – negeri jauh di
sebarangnya dan kebebasan nyata serta kemerdekaan pribadi yang dapat dinikmati
orang disana. Aku merasa sedang hidup di dekatmu, dikitari oleh bayang – bayang
jiwamu, tenggelam dalam lautan kasih sayang, Namun semua pikiran yang
memancarkan gejolak jiwa seorang perempuan yang membuatnya memberontak melawan
tradisi kadaluwarsa dan hidup dalam bayang – bayang kebebasan dan keadilan,
membuatku mengetahui bahwa diriku kini memang sudah tanpa daya lagi. Tapi aku
yakin bahwa cinta itu adalah cinta yang tak terbatas akan senantiasa tegar
berdiri di depan matahari.
“Lalu aku menangis seperti raja yang baru terampas kerajaan dan kekayaan,
dan aku melihat wajahmu dalam airmataku, memadang matamu yang memandangku, dan
aku ingat apa yang kau katakana padaku ketika itu, “Marilah Selma, tegarkan
hati kita seperti menara – menara yang gagah menantang badai, seperit prajurit
– prajurit gagah pekasa mengadapi musuh dan menantang peluru, jika mati kita
akan menjadi martir, dan jika menang, kita akan hidup sebagai pahlawan. Hidup
dalam tantangan dan kesulitan lebih mulia daripada kembali kepada ketentraman.”
“Kalimat – kalimat itu, kekasihku, engkau ucapkan ketika sayap – sayap
maut melayang – melayang di atas pembaringan ayahku. Aku mengingat kata – kata
itu kemarin ketika sayap – sayap keputusan melayang – laying di atasku. Dengan
mengingat kata – katamu itu, aku merasakan ada sebersit kebebasan yang agung
meringankan kesulitan – kesulitanku dan menghapuskan kesedihan – kesedihanku.
Aku sadar bahwa cinta kit sedalam samudera, setinggi bintang, dan seluas
angkasa. Dengan pergi ke tempat ini dan menatapmu, jiwaku yang lemah akan
memperoleh kekuatan baru, dan kekuatan ini adalah kemampuan untuk mengorbankan
seuatu yang berharga agar dapat memperoleh kekuatan baru dan kekuatan ini
adalah kemampuan untuk mengorbankan seuatu yang lebih mulia. Aku mengorbankan
kebahagianku agar engkau bisa tetap bersih dan terhormat dalam pandangan
masyarakat serta terhindar dari cercaan atau hukuman.
“Apabila sebelumnya aku datang ke tempat ini dengan merasa seolah rantai
– rantai berat membebaniku, mak ahari ini aku datang ke sini dengan sebuah
keputusan yang menertawakan belenggu – belenggu itu dan memperpendek jalanku.
Kemarin aku datang ke kuil ini seperti hantu ketakutan, namun hari ini aku
datang sebagai pemberani yang menyadari perlunya suatu pengorbanan dan memahami
nilai – nilai penderitaan. Perempuan sepenuhnya sanggup melindungi orang yang
dicintainya dari orang – orang bodoh. Dan jika dulu aku duduk di sampingmu
bagaikan bayang – bayang yang bergetar, tapi hari ini aku datang kesini untuk
menunjukkan diriku yang sejati di depan Istar dan Kristus.
“Aku adalah pohon yang tumbuh di keteduhan, dan kini aku menjulurkan
dahan – dahanku meraih getar cahaya hari. Aku datang untuk mengucapkan selamat
tiggal padamu, kekasihku, dan harapanku semoga perpisahan kita akan seagung dan
seindah cintai kita. Biarlah perpisahan kita menjadi seperti api yang melebur
batangan emas dan membuatnya menjadi lebih berharga.”
Aku hanya bisa diam, dak mengucap kata atau membantah. Selma menatapku tertegun, airmatanya mengalir
makin deras. Wajahnya membayangkan keagungan yang Nampak seperti ketenangan
seorang bidadari. Kemudian ia memelukku dengan tangan yang lembut serta
mengecupkan dalam ciuman yang panjang dan hangat di bibirku. Ketika matahari
mulai turun dan menarik kembali cahayanya dari taman – taman dan pekuburan, Selma bergerak ke tengah
kuil dan lama memandang dinding dan sudut – sudutnya seolah hendak memuaskan
matanya pada lukisan – lukisan itu.
Kemudian ia melangkah dan dengan penuh hormat berlutut di depan gambar
Kristus, aku telah memilih Salib-Mu dan meninggalkan dunia Istar yang penuh
kesenangan. Aku telah mengenak mahkota duri dan mencampakkan mahkota mutiara,
membasuh diriku dengan darah dan airmata, bukan dengan minyak wangi dan harum –
haruman. Aku telah meminum asam cuka dan air empedu dari piala yang bisa saja
kuisi anggur dan madu. Kini terimalah aku menajdi pengikut-Mu, dan bimbinglah
aku menuju tanah Galilea bersama – sama mereka yang telah memilih-Mu yang puas
dengan derita sengsara mereka.”
Lalu ia bangkit dan memandangku, katany, “Aku akan pulang dengan rasa
bahagia menuju rumah kuburanku yang gelap gulita, tempat para hantu yang
mengerikan besemayam. Janganlah mengasihani diriku, kekasihku, karena jiwa yang
telah menyaksikan bayang – bayang Tuhan tidak akan pernah takut pada hantu –
hantu jahat, dan mata yang pernah menatap pendar cahaya surga tak akan terpejam
oleh duka derita dunia.”
Sambil mengucapkan kata – kata ini, Selma
meninggalkan kuil Istar sementara aku tetap tinggal disana, tenggelam dalam
laut pikiran yang dalam dan terseret oleh lamunan menuju angkasa tanpa tepi,
tempat Tuhan bertahta dan tempat para malaikat mencatat segala perbuatan
manusia. Tempat ruh – ruh tertegun menatap tragedy kehidupan, dan para
pengantin langit menyakitkan lagu puji cinta, kesedihan, dan keabadian.
Malam telah melingkupi bumi ketika aku terbangun, dan kusdari diriku
kedinginan, sementara di telingaku terus terngiang gem tiap kata yang diucapkan
Selma dan mengingat – ingat diamnya, perilakunya, gerak – gerakannya, ucapan –
ucapannya, serta belaian tanganya. Aku jadi begitu menyadari makna perpisahan
dan pedih harunya kesepian, jiwaku tertekan dan patah pengharapan.
Itulah untuk pertama kali aku menyadari kenyataan bahwa manusia, walaupun
terlahir bebas merdeka, akan tetap sebgai budak – budak peraturan yang
diwariskan oleh leluhur mereka, dan bahwa langit yang kita bayangkan tetap tak
berubah, adalah penaklukan hari ini terhadap kehendak hari esok dan penyerahan
hari kemarin pada kemauan hari ini. Sejak malam itu aku selalu berpikir tentang
hukum jiwa yang membuat Selma
lebih menyukai mati daripada hidup, dan berkali – kali aku membuat perbadingan
antara nilai pengorbanan dan kebahagiaan pemberontakan untuk menemukan mana
yang lebih luhur dan mana yang lebih Indah. Tapi hingga kini aku tetap tak tahu
dan hanya terpaku pada satu kebenaran dalam seluruh persoalan itu. Bagiku
kebenaran itu ialah kesetiaan yang membuat seluruh wujud kita menjadi indah dan
terhormat. Dan kesetiaan itu telah memiliki oleh Selma Karima.
RESENSI NOVEL
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia
Disusun
oleh :
ü
Siti Anisah
ü
Resti Rahayu
ü
Mela Susilawati
ü
Dede Opi
ü
Lala Fadilah
Kelas XI. IPS I
MAN KIARA KUDA CIAWI
Jln. Ciawi – Panumbangan – Tasikmalaya
2008 / 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar