Minggu, 31 Mei 2015

Resensi Air Mata Cinta - zona IAILM

AIR MATA CINTA

Cinta tidak menyadari kedalamannya sampai ada saat perpisahan

Pada bulan Juni, saat orang – orang berbondong – bondong meninggalkan kota berarak ke egunungan untuk menghindari sengatan cahaya matahari, aku berangkat ke kuil menemui Selma. Di tanganku terapit membawa sebuah buku puisi Spanyol. Setiba di kuil aku duduk menunggu kehadiran Selma, sambil membolak – balik halaman – halaman buku puisi itu, membacanya untuk memenuhi dahaga hatiku dengan gairah yang meninggi, membawa pikiranku dalam ingatan atas para raja, pra penair, para kstatia yang melambaikan tangan perpisahan di kota Granada. Pergi meninggalkan istana, lembaga – lembaga, serta harapan dengan tetesan arimata dan dukacita hati terdalam. Tak lama kemudian aku melihat Selma berjalan dari arah taman menuju kuil, sambil memegang sebuah paying, seolah sepeti menanggung beban kepedihan hidup di pundaknya. Begitu Selma masuk kuil dan duduk disampingku, aku merasakan beberapa perubahan di matanya tapi aku enggan untuk menanyakannya.
Selma rupanya cukup peka menangkap beban apa yang sedang menggelayut dalam hatiku, lalu ia meletakkan tangannya dan membeliai kepalaku, lantas berkata, “Kemarilah mendekatlah padaku, kekasihku, puaskanlah rasa bahagiaku, karena detik – detik perpisahan makin mendekat. Ayo”
Aku bertanya padanya, “apakah suamimu mengetahui bahwa kita selalu sering bertemu di sini?”
Selma menjawab, “Suamiku sangat tak peduli kepadaku, dia juga tidak tahu bagaimana aku menghabiskan hari – hariku, karena dia terlalu asik dengan gadis – gadis yang malang itu, yang kemiskinannya telah membuat mereka berada di rumah – rumah pelacuran, gadis – gadis yang menjual tubuhnya demi roti yang di hiasi oleh darah dan airmata.”
Aku bertanya lagi, “Apa ada yang menghalangimu datang ke kuil ini dan duduk berdampingan denganku tanpa pernah merasa hilang kehormatanmu di hadapan Tuhan? Ataukah jiwamu memang telah jenuh dan menghendaki perpisahan kita?’
Selma menjawab dengan airmata yang berderai, “Sama sekali tidak, kekasihku. Dan tak akan mungkin jiwaku menghendaki perpisahan kita, karena kamu telah menjadi bagian yang menyatu dalam diriku, mataku seakan tidak pernah jenuh melihatmu, karena kamulah cahaya penerang dunia dan kehidupanku. Tapi jika memang takdir telah menggariskan bahwa aku harus menempuh jalan hidup yang berduri dengan belenggu – belenggu di kedua kakiku, mungkinkah aku bersenang hati jika takdirmu pun berarti takdirku? Aku merasa tak mampu berkata karena lidahku telah kaku oleh rasa sakit dan tak sanggup lagi berbicara. Bibirku telah terkunci oleh penderita hingga tak kuasa aku menggerakannya. Apa yang dapat kukatakan lagi padamu hanyalah aku khawatir kalau kamu akan terpuruk dalam jebakan yang sama seperti telah menjebak diriku”.
“Apa maksudmu, Selma, dan siapa sebenarnya yang aku takuti?”
Ia menutup mukanya dengan tangan sambil berkata terpatah – patah,”Pendeta paman suamiku itu telah mengetahui bahwa aku selalu meninggalkan rumah yang telah menguburku itu”
“Apakah pendeta jahat itu juga mengetahui pertemuan – pertemuan kita di sini?” tanyaku.
Selma menjawab, “Seandainya ia sudah mengetahui, kamu tidak akan melihatku berada di sampingmu. Tapi ia telah curiga dan memerintahkan sejumlah orang untuk mengawasi dan mengikuti kemanapun aku pergi. Aku merasa bahwa rumah yang kuhuni dan jalan yang kulewati dikelilingi oleh ribuan pasang mata yang mengawasi dengan awas, dan telinga – telinga yang mendengarkan ucapan pikiran – pikiranku.”
Selma diam beberapa lama. Dan airmata itu, airmata itu terus saja mengucurkan butiran derita yang teramat sangat. “Bukan berarti aku sangat takut kepda pendeta itu, hana karena orang – orang yang tenggelam tapi takut basah. Melainkan aku sangat khwatir kalau kamu jatuh  ke dalam jebakan dan akan menjadi mangsanya. Kamu masih muda dan selalu bebas merdeka seperti burung rajawali. Aku sam asekali tidak pernah berpikir dan merasa tidak takut akan takdir yang telah menancapkan sembilu di dadaku, hanya saja aku khawatir kalau ular itu menggigit kakimu dan menghambat perjalanan mendaki puncak gunung, diman amasa depan sedang menantimu dengan ketenangan dan kegembiraanya.
Aku menjawab, “Barangsiapa yang belum pernah merasakan gigitan ular dan tercabik oleh kuku taring serigala kegelapan, akan selamanya tertipu oleh lingkar waktu dan pergantian siang dan malam. Tapi dengarkanlah baik – baik, Selma. Apakah perpisahan satu – satunya cara menghindari kejahatan dan kepicikan satu – satunya cara menghindari kejahatan dan kepicikan orang – orang? Sudahkah jalan cinta dan kebebasan tertutup dan tidak ada lagi yang tingal selain penyerahan diri terhadap hasrat nafsu budak kematian?”
Dan Selma menjawab, “Tidak ada lagi yang tinggal kecuali perpisahan dan bersama untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Dengan jiwa yang menggelora kau pegang erat tangannya dan dengan penuh gairah kekuatan padanya, “Selama ini kita telah mengikuti irama kemauan orang – orang itu. Sejak kita telah mengikuti irama kemauan orang – orang itu. Sejak kita bertemu sampai saat ini kita telah diasuh oleh orang buta atau beramai – ramai dengan mereka kita telah menyembah berhala – berhala. Sejak pertama kali bertemu, kita telah berada dalam tangan pendeta itu seperti batu kerikil yang ia lempar sesuka hatinya. Apakah kita juga akan menyerah pada keingiannya sampai ajal merenggut kita berdua? Apakah memang Tuhan menakdirkan kita nafas kehidupan hanya untuk diletakkan dibawah kaki – kaki kematian? Apakah kebebasan untuk kita tidak lebih dari sebuah bayangan perbudakan? Siapa yang telah memadamkan api jiwanya dengna tangannya sendiri ia adalah manusia otor di mata Tuhan, karena itu Dialah sang penyulut api yang membakar jiwa manusia. Jadi siapa yang tidak memberontak melawan penindasan, berarti sedang melakukan ketidakadilan.
“Aku cinta padamu, Selma, dank au pun mencintaiku. Dan cinta adalah pemberian Tuhan untuk jiwa – jiwa yang peka dan suci. Haruskah kita telantarkan kekayaan ini dan kita biarkan para babi itu memporak – porandakan dan menghancurkannya? Dunia memang penuh keajaiban dan keindahan, lalu mengapa kita hidup dalam lubang sempit yang digali oleh pendeta itu untuk kita? Hidup seharusnya penuh dengna kebahagiaan dan kebebasan, tapi mengapa kita tetap membiarkan beban belenggu di pundak kita dan mari kita patahkan rantai – rantai yang menjerat kaki – kaki kita, lalu menyusur bebas menuju jaln kedamaian?
“Bangunlah danmari kita tinggalkan kuil kecil ini menuju kuil agung Tuhan. Kita harus tinggalkan negeri ini dengan semua perbudakan dan kebodohannya menuju negeri lain yang jauh dan tak dilumuri oleh tangan – tangan para pencuri. Kita pergi ke pantai di bawah petunjuk malam lalu berlayar dengan perahu yang akan membawa kita mengarungi lautan, tempat kita akan menemukan kehidupan baru yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Ayo, jangan membuang buang waktu, Selma, karena setiap detik saat ini kita lebih berharga daripada seinggasana untuk para bidadari. Mari kita ikuti berkas cahaya yang akan menuntun kita dari lembah tandus ini menuju padang menghijau tempat persemaian ilalang dan bunga – bunga.”
Selma mengangkat kepalanya dan sekarang sedang memandang sesuatu yang tak Nampak oleh penglihatan mata ke langit – langit kuil itu. Nampak senyuman kesedihan membayang dibibirnya yang makin memucat, kemudian berkata, “Tidak. Tidak, kekasihku. Tuhan telah meletakkan di tangaku piala yang penuh berisi asam cuka dan empedu. Dan aku mewajibkan diriku sendiri untuk meminumnya, menghirup kepahitan itu sepenuhnya hingga tak ada lagi yang tinggal kecuali beberapa tetes, yang juga akn kereguk dengan penuh kesabaran. Ku tak layak untuk suatu kehidupan baru yang terbuat dari cinta dan kedamaian itu. Wujudku terlalu lemah untuk menikmati kesenangan dan kemanisan hidup burung yang telah patah sayap – sayapnya tak akan mampu menahan terangnya sinar matahari.
“Jangan lagi bicara tentang kebahagiaan kepadaku, sebab kenangan pada kebahagiaan kepadaku, sebab kenangan pada kebahagiaan itu hanya akan membuatku menderita. Jangan sebut – sebut lagi kedamaian padaku, karena baying – baying kedamaian itu hanya akan membuat aku takut. Tapi padanglah aku, dan akan kuperlihatkan padamu Obor Suci yang telah dinyalakan oleh Tuhan dengan puing- puing hatiku. Engkau tahu bahwa aku mencintaimu seperti seorang ibu mencintai anak satu – satunya, dan cinta hanya mengajariku melindungimu, bahkan terhadap diriku. Cintailah yang disucikan dengan api yang telah mencegahku mengikutimu ke negeri paling jauh. Cinta telah memadamkan nafsuku agaraku bisa hidup bebas. Cinta yang terbatas ingin memiliki yang dicintai, tapi  cinta yang terbatas hanya menginginkan cinta itu sendiri. Cinta yang tumbuh dalam perpaduan kenaifan dan gairah masa muda, memuaskan diri dengan memiliki dan tumbuh dalam pelukan. Tapi cinta yang dilahirkan besama segala rahasi amalam tidak pernah puas dengan apapun selain Keabadian dan kelestarian dan ia hanya membungkus dan patuh kepada Tuhan.
“Ketika aku tahu bahwa pendeta tua itu berniat menghalangiku meninggalkan rumah dan merampas dariku kesenanganku satu – satunya, aku berdiri di depan jendela kamarku dan memandang ke laut, memikirkan negeri – negeri jauh di sebarangnya dan kebebasan nyata serta kemerdekaan pribadi yang dapat dinikmati orang disana. Aku merasa sedang hidup di dekatmu, dikitari oleh bayang – bayang jiwamu, tenggelam dalam lautan kasih sayang, Namun semua pikiran yang memancarkan gejolak jiwa seorang perempuan yang membuatnya memberontak melawan tradisi kadaluwarsa dan hidup dalam bayang – bayang kebebasan dan keadilan, membuatku mengetahui bahwa diriku kini memang sudah tanpa daya lagi. Tapi aku yakin bahwa cinta itu adalah cinta yang tak terbatas akan senantiasa tegar berdiri di depan matahari.
“Lalu aku menangis seperti raja yang baru terampas kerajaan dan kekayaan, dan aku melihat wajahmu dalam airmataku, memadang matamu yang memandangku, dan aku ingat apa yang kau katakana padaku ketika itu, “Marilah Selma, tegarkan hati kita seperti menara – menara yang gagah menantang badai, seperit prajurit – prajurit gagah pekasa mengadapi musuh dan menantang peluru, jika mati kita akan menjadi martir, dan jika menang, kita akan hidup sebagai pahlawan. Hidup dalam tantangan dan kesulitan lebih mulia daripada kembali kepada ketentraman.”
“Kalimat – kalimat itu, kekasihku, engkau ucapkan ketika sayap – sayap maut melayang – melayang di atas pembaringan ayahku. Aku mengingat kata – kata itu kemarin ketika sayap – sayap keputusan melayang – laying di atasku. Dengan mengingat kata – katamu itu, aku merasakan ada sebersit kebebasan yang agung meringankan kesulitan – kesulitanku dan menghapuskan kesedihan – kesedihanku. Aku sadar bahwa cinta kit sedalam samudera, setinggi bintang, dan seluas angkasa. Dengan pergi ke tempat ini dan menatapmu, jiwaku yang lemah akan memperoleh kekuatan baru, dan kekuatan ini adalah kemampuan untuk mengorbankan seuatu yang berharga agar dapat memperoleh kekuatan baru dan kekuatan ini adalah kemampuan untuk mengorbankan seuatu yang lebih mulia. Aku mengorbankan kebahagianku agar engkau bisa tetap bersih dan terhormat dalam pandangan masyarakat serta terhindar dari cercaan atau hukuman.
“Apabila sebelumnya aku datang ke tempat ini dengan merasa seolah rantai – rantai berat membebaniku, mak ahari ini aku datang ke sini dengan sebuah keputusan yang menertawakan belenggu – belenggu itu dan memperpendek jalanku. Kemarin aku datang ke kuil ini seperti hantu ketakutan, namun hari ini aku datang sebagai pemberani yang menyadari perlunya suatu pengorbanan dan memahami nilai – nilai penderitaan. Perempuan sepenuhnya sanggup melindungi orang yang dicintainya dari orang – orang bodoh. Dan jika dulu aku duduk di sampingmu bagaikan bayang – bayang yang bergetar, tapi hari ini aku datang kesini untuk menunjukkan diriku yang sejati di depan Istar dan Kristus.
“Aku adalah pohon yang tumbuh di keteduhan, dan kini aku menjulurkan dahan – dahanku meraih getar cahaya hari. Aku datang untuk mengucapkan selamat tiggal padamu, kekasihku, dan harapanku semoga perpisahan kita akan seagung dan seindah cintai kita. Biarlah perpisahan kita menjadi seperti api yang melebur batangan emas dan membuatnya menjadi lebih berharga.”
Aku hanya bisa diam, dak mengucap kata atau membantah. Selma menatapku tertegun, airmatanya mengalir makin deras. Wajahnya membayangkan keagungan yang Nampak seperti ketenangan seorang bidadari. Kemudian ia memelukku dengan tangan yang lembut serta mengecupkan dalam ciuman yang panjang dan hangat di bibirku. Ketika matahari mulai turun dan menarik kembali cahayanya dari taman – taman dan pekuburan, Selma bergerak ke tengah kuil dan lama memandang dinding dan sudut – sudutnya seolah hendak memuaskan matanya pada lukisan – lukisan itu.
Kemudian ia melangkah dan dengan penuh hormat berlutut di depan gambar Kristus, aku telah memilih Salib-Mu dan meninggalkan dunia Istar yang penuh kesenangan. Aku telah mengenak mahkota duri dan mencampakkan mahkota mutiara, membasuh diriku dengan darah dan airmata, bukan dengan minyak wangi dan harum – haruman. Aku telah meminum asam cuka dan air empedu dari piala yang bisa saja kuisi anggur dan madu. Kini terimalah aku menajdi pengikut-Mu, dan bimbinglah aku menuju tanah Galilea bersama – sama mereka yang telah memilih-Mu yang puas dengan derita sengsara mereka.”
Lalu ia bangkit dan memandangku, katany, “Aku akan pulang dengan rasa bahagia menuju rumah kuburanku yang gelap gulita, tempat para hantu yang mengerikan besemayam. Janganlah mengasihani diriku, kekasihku, karena jiwa yang telah menyaksikan bayang – bayang Tuhan tidak akan pernah takut pada hantu – hantu jahat, dan mata yang pernah menatap pendar cahaya surga tak akan terpejam oleh duka derita dunia.”
Sambil mengucapkan kata – kata ini, Selma meninggalkan kuil Istar sementara aku tetap tinggal disana, tenggelam dalam laut pikiran yang dalam dan terseret oleh lamunan menuju angkasa tanpa tepi, tempat Tuhan bertahta dan tempat para malaikat mencatat segala perbuatan manusia. Tempat ruh – ruh tertegun menatap tragedy kehidupan, dan para pengantin langit menyakitkan lagu puji cinta, kesedihan, dan keabadian.
Malam telah melingkupi bumi ketika aku terbangun, dan kusdari diriku kedinginan, sementara di telingaku terus terngiang gem tiap kata yang diucapkan Selma dan mengingat – ingat diamnya, perilakunya, gerak – gerakannya, ucapan – ucapannya, serta belaian tanganya. Aku jadi begitu menyadari makna perpisahan dan pedih harunya kesepian, jiwaku tertekan dan patah pengharapan.
Itulah untuk pertama kali aku menyadari kenyataan bahwa manusia, walaupun terlahir bebas merdeka, akan tetap sebgai budak – budak peraturan yang diwariskan oleh leluhur mereka, dan bahwa langit yang kita bayangkan tetap tak berubah, adalah penaklukan hari ini terhadap kehendak hari esok dan penyerahan hari kemarin pada kemauan hari ini. Sejak malam itu aku selalu berpikir tentang hukum jiwa yang membuat Selma lebih menyukai mati daripada hidup, dan berkali – kali aku membuat perbadingan antara nilai pengorbanan dan kebahagiaan pemberontakan untuk menemukan mana yang lebih luhur dan mana yang lebih Indah. Tapi hingga kini aku tetap tak tahu dan hanya terpaku pada satu kebenaran dalam seluruh persoalan itu. Bagiku kebenaran itu ialah kesetiaan yang membuat seluruh wujud kita menjadi indah dan terhormat. Dan kesetiaan itu telah memiliki oleh Selma Karima.














RESENSI NOVEL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

 















Disusun oleh :
ü  Siti Anisah
ü  Resti Rahayu
ü  Mela Susilawati
ü  Dede Opi
ü  Lala  Fadilah
Kelas XI. IPS I

MAN KIARA KUDA CIAWI
Jln. Ciawi – Panumbangan – Tasikmalaya
2008 / 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar