PENDAHULUAN
Dengan mempelajari makalah ini kita dapat mengetahui dan menambah
pengetahuan tentang “Istihsan” dimana istihsan ini diartikan meminta berbuat
kebaikan serta beberapa pendapat ulama ushul, tentang pengertian istihsan.
Istihsan juga membahas tentang zakat seluruh harta danpa niat, dimana
para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi
oleh niat untuk memisahkan ukuran yang wajib di zakati.
Alasan menurut dalil istihsan tentang zakat tersebut adalah setelah jelasnya
tentang sebagian dari seluruh hartanya yaitu 4/10 dan ukuran tersebut merupakan
ketentuan dari keseluruhan sebagaimana tersebut diatas.
ISTIHSAN
1. Pengertian dan Hakikat
Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat
kebaikan yakni menghitung – hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan (Kamus
Lisan Al Arab)
Menurut istilah ulama ushul, istishan adalah sebagai
beirkut ini
a)
Menurut Al Ghzalai dalam kitabnya
Al Mustashafa juz I : 137, “Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh
mujtahid menurut akalnya.”
b)
Al – Muwafiq Ibnu Qudamah Al
Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan
pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al – Qur’an dan As Sunah”.
c)
Abu Ishaq Asy – Syatibi dalam
madzhab Al – Maliki berkata, “Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahahan
yang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
d)
Menurut Al hasan Al Kurkhi Al
Hanafi, “Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum
dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang
membutuhkan keadilan.”
e)
Menurut Muhammad Abu Zahrah.
“Definisi yang lebih baik adalah menurut Al Hasan Al Kurkhi diatas.”
f)
Sebagian ulama yang lainnya
mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan
dalil adapt untuk kemaslahatan manusia, dan lain – lain.
2.
Kehujjah Istihsan dan
Panangan Para Ulama
a) Ulama Hafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa
Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan
yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan baha Hanafiyah
mengakui adanya Istihsan. Bahkan dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali
terdapat permasalahan yang menyankut istihsan.
b) Ulama Malikiyah
Asy – Syatibi berkata bahwa
sesungguhnya istihsan itu diangap dalil yang kuat dalam hukum sebagiamana
pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanafah. Begitu pula menurut Abu Zahrah,
bahwa Imam Malik serong berfatwa dengan menggunakan istihsan.
c) Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul
disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana
dikatakan oleh Imam AL Maudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al Jalal Al Mahalli
dalam kitab Syarh Al Jam Al Jaweni, mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh
Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkatinya termasuk di dalamnya golongan
Hanabilah.
d) Ulama Syahfi’iyah
Golongan AL Syafi’i secara
mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul – betul menjauhi untuk
menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
Bahkan Imam Syaf’i berkata ”Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia
telah membuat syari’at Beliau juga berkata, ”Segala urusan itu telah diatur
oleh Allah SWT., setikdaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan
menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.”
3.
Pengaruh Istihsan Dalam
Masalah Fiqih
Dibawah
ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh Istihsan dalam masalah
fiqih :
a. Lelaki yang Menghadap
Perempuan Dalam Shalat
Berdasarkan sunah, para ulama
sepakat bahwa apabila laki – laki dan perempuan melakukan shalat berjama’ah
maka perempuan berada di barisan belakang laki – laki. Tetapi mereka berbedap
pendapat, mengenai seseorang perempuan yang melaksanakan shalat berjamaah
berada tepat pada barisan laki – laki atau laki – laki yang melaksanakan shalat
berjamaah tepat berada pada barisan perempuan.
1) Abu Hanifah dan
sahabat – sahabatnya berpendapat, bahwa dianggap rusak shalat seorang laki –
laki yang menghadap (berada di belakang ) perempuan, dan tidak dianggap rusak
shalat perempuan yang menghadap (berada di belakang) laki – laki. Dalam kitab
Bidayah AL Mubtadi (255 : 1) Ia mengatakan bahwa apabila di hadapan laki – laki
iut terdapat seorang perempuan dan keduanya sama – sama dalam satu shalat, maka
shalat laki – laki itu adalah fasad (rusak) jika ia bertekad / niat
menjadikannya (perempuan) sebagai imam.
2) Imam yan tiga (malik,
Asy-Syafii dan Ahmad), berpendapat bahwa shalat tersebut adalah makruh, namun
shalat salah satu di antar amereka, baik laki – laki maupun perempuan tidaklah
rusak. Dalam Syarah Al Kubir (333 : 1) dinyatakan bahwa shalat seorang laki –
laki yang berada di antara barisan perempuan dan atau sebaliknya adalah makruh.
Dan dalam kitab Al Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki – laki yang menghadap
(di belakang) perempuan maupun perempuan yang menghadap (di belakang) laki –
laki adalah makruh.
3) Dalam kitab Al – Umm
(150 : 1), Imam Asy – Syafi’i menyatakan bahwa apabila seseorang bermakmum
kepada seorang laki – laki dan kepada seorang perempuan, sedangkan perempuan tersebut
berdiri di belakang imam, dan laki – laki berada di belakang perempuan atau
perempuan tersebut berdiri disamping imam, kemudian laki – laki itu bermakmuk
kepadanya dan ia berada di samping perempuan tersebut maka shalat bagi
perempuan, laki – laki dan imam tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu
di antara mereka tidak rusak.
4) Ibnu Qudamah dalam
kitabnya Al Mughni (150 : 1) berpendapat bahwa jika terdapat seseorang
perempuan yang melaksanakan shalat pada barisan laki – laki, maka shalatnya itu
adalah makruh, namun tidak menjadikannya batal.
Diantara argumen yang
dikemukakan oleh para ulama di atas adalah sebagai berikut :
1) Landasan madzhab
Hanafi atas pendapat mereka mengenai rusaknya shalat seorang laki yang
berhadapan dengan perempuan adalah isthsan. Alasan istihsan itu berdasarkan
perintah dari Rasulullah untuk mendahulukan laki – laki dan mengakhirkan
perempuan dalam shalat, karena apabila laki – laki diakhirkan atau sholatnya
menghadap kepada perempuan, maka ia dianggap tertinggal shalat fardu dan
shalatnya pun menjadi rusak. Perintah yang dimaksud adlaah sabda Rasulullah SAW
yang berbunyi, ”Akhirkanlah mereka (perempuan) seperti halnya Allah
mengakhirkannya”
2) Alasan ulama yang menyatakan shalatnya makruh
adalah mereka menganalogikan keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi di luar
shalat, maka shalatnya tidaklah batal menurut ijma. Hal tersebut didasari oleh
praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW< yaitu ketika Rasulullah sedang
melaksanakan shalat, sementara Aisyah tertidur di hadapannya.
3) Dalam kitab Al Umm
(150 – 151) Asy – Syafi’i mengatakan bahwa sesungguhnya apa yang aku katakan
ini di informasikan pula oleh Ibnu ”Uyainah kepadaku dari Zuhri dari”Urwah dari
”Aisyah ia berkata, ”Ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat malam, sedang
aku berbaring antara beliau dan arah kiblat seperti berbaringnya jenajah. Asy –
Syafi’i berkata, ”jika seorang perempuan yang berada di hadapannya tidak
merusak laki – laki yang sedang shalat, maka perempuan tersebut, baik di kanan
atau di kiri laki – laki itu tidak merusak shalat laki – laki itu (Lihat Al
Mughni hal 150 jilid II)
b.
Zakat Seluruh Harta Tanpa
Niat
Para ulama
sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi oleh niat
untuk memisahkanukuran yang wajib dizakati. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat mengenai kepada siapa sebenarnya diwajibkannya zakat atau bersedekah
seluruh hartanya bila tidak disertai niat. Apakah kewajiban zakatnya menjadi
gugur atau tetap berada pada tanggung jawabnya?
1) Asy – Syafi’i dan
Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak gugur. Dalam kitab Al Majmu
(191 : 6) dikatakan bahwa jika seseorang menyedekahkan (menzakatkan) seluruh
hartanya dengan tidak disertai niat zakat, maka zakat tersebut tidak gugur.
2) Ibnu Qudamah dalam
kitabnya Al Mughni (377 : 2) mengatakan bahwa walaupun hukum seseorang
menyedekahkan semua hartanya itu adalah sunah, tetapi jika ia tidak berniat
zakat, maka ia tetap tidak mengapatkan pahala zakat.
3) Abu Hanifah dan rekan
– rekannya berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur. Ia menyatakan dalam
kitab Al Hidayah (493 :1) bahwa barang siapa yang berzakat dengan seluruh
hartanya, tetapi ia tidak menyertainya dengan niat zakat maka gugurlah
kewajibannya.
Diantara argumen yang
dikemukakan oleh mereka adalah :
1) Alasan mereka yang
mengatakan bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur karena orang tersebut dalam
berniat dengan apa yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib /
fardu. Maka zakatnya tidak gugur. Mereka menganalogikan hal tersebut pada
shalat, yaitu jika seseorang melakukan shalat seperti apa yang ia kehendaki dan
ia tidak berniat shalat fardhu atas shalatnya itu maka shalatnya tidaklah gugur
sebelum ia melakukan shalat tersebut dengan niat shalat fardhu. Sedekah
tersebut bisa jatuh pada fardhu juga sunah. Oleh karena itu, niatnya harus
ditentukan.
2) Asy – Syafi’i dalam
kitabnya Al – Umm (18 : 2 ) mengatakan bahwa apabila dalam bersedekah itu tidak
ditentukan fardu dan sunnahnya maka sebenarnya Allah SWT, itu sangat mengetahui
akan hal itu.
3) Dalam kitab Al Majmu
(191 : 6) AN Nawawi mengatakan bahwa perbuatan tersebut tidak murni sebagai
fardu dan juga tidak sah, seperti halnnya shalat.
4) Ibnu Qudamah dalam
kitabnya Al –Mugni (377 : 2) berpendapat bahwa menyedekahkan (zakat) semua
harga dengan tidak disertai niat zakat adalah tidak sah, karena tidak disertai
dengan niat fardu. Perbuatan tersebut juga tidak mendapatkan pahala. Hal
tersebut sama halnya apabila seseorang melakukan shalat 100 (seratus) raka’at
tanpa menentukan niat bahwa shalat tersebut adalah shalat fardu atau shalat
sunat.
5) Alasan golongan Hanafi
mengenai gugurnya kewajiban itu adalah istihsan. Pengarang kitab al Inayah (126
: 5) berpendapat bahwa berdasarkan qiyas, kewajiban tersebut tidak gugur,
karena sunah dan fardu keduanya merupakan syar’iat. Oleh karena itu, harus
ditentukan seperti dalam shalat.
Alasan menurut dalil istihsan
tentang zakat tersebut adalah setelah jelasnya kewajiban tentang bagian dari
seluruh hartanya, yaitu 4/10, dan ukuran tersebut merupakan ketentuan dari
keseluruhan. Apabila sesuatu telah ditentukan, maka tidak perlu penentuan lagi,
karena adanya fardu itu telah membayar keseluruhan dan penentuan kefarduan itu
sendiri untuk mempersempit antara bagian yang harus dilaksanakan dengan bagian
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Al Ghazali, Al Musthapa Fi Lim : Al Ushul, Beirut : DAR Al Kutub Al Ilmiyah
Al Amalah AL Bannani, Hasyiah Al Bannani Ala Syarh Al Mahali ala Matu Jam’u
Al Jawami Berut : Dar Al Fikr : 1983
”ISTIHSAN”
Makalah yang disusun untuk memenuhi
Tugas mata kuliah ”Uhsul Fiqih”
Semester II / 2009
Oleh :
Dede Susanah
Nomor Induk : 08.0104.050
Jurusan :
PAI Konsentrasi PGMI – B
Dosen :
Drs. H.U Suhendar
SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM
(STAI)
|
TAHUN 2008 / 2009
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur
kepada Allah SWT yang maha luas ilmu, Alhamdulillah penyusun makalah ini dapat
terselesaikan.
Makalah ini disusun sebagai
upaya untuk memenihi salah satu tugas mata kuliah usul fiqih.
Di dalam proses penyusunan
makalah ini banyak kesulitan yang penyusun hadapi walaupun demikian, kesulitan
demi kesulitan dapat penyusun hadapi karena banyak pihak yang memberikan
bantuan dan dorongan oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Drs. H.U Suhendar.
Terima kasih, penyusun mohon
maaf kepada seluruh pihak karena makalah ini jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan, untuk itu penyusun membuka kesempatan yang seluas – luasnya
untuk menerima saran dan kritik. Semoga dengan adanya saran dan kritik itu,
penyusun termotivasi untuk mengadakan perubahan menuju yang terbaik.
Harapan penyusun, mudah –
mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan
tolak ukur bagi penyusun masalah berikutnya.
Tasikmalaya, April 2009
Penyusun
|
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................. i
Daftar Isi ..................................................................................................... ii
ISTIHSAN
1.
Pengertian dan Hakikat Istihsan ........................................................... 1
2. Kehujjahan Istihsan
dan pandangan pada ulama................................... 3
3. Zakat Seluruh Harta
Tanpa Niat ........................................................... 4
DAFTAR
PUSTAKA
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar