Minggu, 31 Mei 2015

Makalah Tahsifah Fiqih - zona IAILM

PENDAHULUAN

Dengan mempelajari makalah ini kita dapat mengetahui dan menambah pengetahuan tentang “Istihsan” dimana istihsan ini diartikan meminta berbuat kebaikan serta beberapa pendapat ulama ushul, tentang pengertian istihsan.
Istihsan juga membahas tentang zakat seluruh harta danpa niat, dimana para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi oleh niat untuk memisahkan ukuran yang wajib di zakati.
Alasan menurut dalil istihsan tentang zakat tersebut adalah setelah jelasnya tentang sebagian dari seluruh hartanya yaitu 4/10 dan ukuran tersebut merupakan ketentuan dari keseluruhan sebagaimana tersebut diatas.












ISTIHSAN

1.      Pengertian dan Hakikat Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan yakni menghitung – hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan (Kamus Lisan Al Arab)
Menurut istilah ulama ushul, istishan adalah sebagai beirkut ini
a)      Menurut Al Ghzalai dalam kitabnya Al Mustashafa juz I : 137, “Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
b)      Al – Muwafiq Ibnu Qudamah Al Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al – Qur’an dan As Sunah”.
c)      Abu Ishaq Asy – Syatibi dalam madzhab Al – Maliki berkata, “Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahahan yang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
d)     Menurut Al hasan Al Kurkhi Al Hanafi, “Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
e)      Menurut Muhammad Abu Zahrah. “Definisi yang lebih baik adalah menurut Al Hasan Al Kurkhi diatas.”
f)       Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adapt untuk kemaslahatan manusia, dan lain – lain.
2.      Kehujjah Istihsan dan Panangan Para Ulama
a)      Ulama Hafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan baha Hanafiyah mengakui adanya Istihsan. Bahkan dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyankut istihsan.

b)      Ulama Malikiyah
Asy – Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu diangap dalil yang kuat dalam hukum sebagiamana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanafah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik serong berfatwa dengan menggunakan istihsan.

c)      Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam AL Maudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al Jalal Al Mahalli dalam kitab Syarh Al Jam Al Jaweni, mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkatinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.


d)     Ulama Syahfi’iyah
Golongan AL Syafi’i secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul – betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan Imam Syaf’i berkata ”Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at Beliau juga berkata, ”Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setikdaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.”

3.      Pengaruh Istihsan Dalam Masalah Fiqih
Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh Istihsan dalam masalah fiqih :
a.       Lelaki yang Menghadap Perempuan Dalam Shalat
Berdasarkan sunah, para ulama sepakat bahwa apabila laki – laki dan perempuan melakukan shalat berjama’ah maka perempuan berada di barisan belakang laki – laki. Tetapi mereka berbedap pendapat, mengenai seseorang perempuan yang melaksanakan shalat berjamaah berada tepat pada barisan laki – laki atau laki – laki yang melaksanakan shalat berjamaah tepat berada pada barisan perempuan.
1)      Abu Hanifah dan sahabat – sahabatnya berpendapat, bahwa dianggap rusak shalat seorang laki – laki yang menghadap (berada di belakang ) perempuan, dan tidak dianggap rusak shalat perempuan yang menghadap (berada di belakang) laki – laki. Dalam kitab Bidayah AL Mubtadi (255 : 1) Ia mengatakan bahwa apabila di hadapan laki – laki iut terdapat seorang perempuan dan keduanya sama – sama dalam satu shalat, maka shalat laki – laki itu adalah fasad (rusak) jika ia bertekad / niat menjadikannya (perempuan) sebagai imam.
2)      Imam yan tiga (malik, Asy-Syafii dan Ahmad), berpendapat bahwa shalat tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu di antar amereka, baik laki – laki maupun perempuan tidaklah rusak. Dalam Syarah Al Kubir (333 : 1) dinyatakan bahwa shalat seorang laki – laki yang berada di antara barisan perempuan dan atau sebaliknya adalah makruh. Dan dalam kitab Al Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki – laki yang menghadap (di belakang) perempuan maupun perempuan yang menghadap (di belakang) laki – laki adalah makruh.
3)      Dalam kitab Al – Umm (150 : 1), Imam Asy – Syafi’i menyatakan bahwa apabila seseorang bermakmum kepada seorang laki – laki dan kepada seorang perempuan, sedangkan perempuan tersebut berdiri di belakang imam, dan laki – laki berada di belakang perempuan atau perempuan tersebut berdiri disamping imam, kemudian laki – laki itu bermakmuk kepadanya dan ia berada di samping perempuan tersebut maka shalat bagi perempuan, laki – laki dan imam tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu di antara mereka tidak rusak.
4)      Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni (150 : 1) berpendapat bahwa jika terdapat seseorang perempuan yang melaksanakan shalat pada barisan laki – laki, maka shalatnya itu adalah makruh, namun tidak menjadikannya batal.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh para ulama di atas adalah sebagai berikut :
1)      Landasan madzhab Hanafi atas pendapat mereka mengenai rusaknya shalat seorang laki yang berhadapan dengan perempuan adalah isthsan. Alasan istihsan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah untuk mendahulukan laki – laki dan mengakhirkan perempuan dalam shalat, karena apabila laki – laki diakhirkan atau sholatnya menghadap kepada perempuan, maka ia dianggap tertinggal shalat fardu dan shalatnya pun menjadi rusak. Perintah yang dimaksud adlaah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, ”Akhirkanlah mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkannya”
2)       Alasan ulama yang menyatakan shalatnya makruh adalah mereka menganalogikan keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi di luar shalat, maka shalatnya tidaklah batal menurut ijma. Hal tersebut didasari oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW< yaitu ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat, sementara Aisyah tertidur di hadapannya.
3)      Dalam kitab Al Umm (150 – 151) Asy – Syafi’i mengatakan bahwa sesungguhnya apa yang aku katakan ini di informasikan pula oleh Ibnu ”Uyainah kepadaku dari Zuhri dari”Urwah dari ”Aisyah ia berkata, ”Ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat malam, sedang aku berbaring antara beliau dan arah kiblat seperti berbaringnya jenajah. Asy – Syafi’i berkata, ”jika seorang perempuan yang berada di hadapannya tidak merusak laki – laki yang sedang shalat, maka perempuan tersebut, baik di kanan atau di kiri laki – laki itu tidak merusak shalat laki – laki itu (Lihat Al Mughni hal 150 jilid II)

b.      Zakat Seluruh Harta Tanpa Niat
Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi oleh niat untuk memisahkanukuran yang wajib dizakati. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapa sebenarnya diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai niat. Apakah kewajiban zakatnya menjadi gugur atau tetap berada pada tanggung jawabnya?
1)      Asy – Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak gugur. Dalam kitab Al Majmu (191 : 6) dikatakan bahwa jika seseorang menyedekahkan (menzakatkan) seluruh hartanya dengan tidak disertai niat zakat, maka zakat tersebut tidak gugur.
2)      Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni (377 : 2) mengatakan bahwa walaupun hukum seseorang menyedekahkan semua hartanya itu adalah sunah, tetapi jika ia tidak berniat zakat, maka ia tetap tidak mengapatkan pahala zakat.
3)      Abu Hanifah dan rekan – rekannya berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur. Ia menyatakan dalam kitab Al Hidayah (493 :1) bahwa barang siapa yang berzakat dengan seluruh hartanya, tetapi ia tidak menyertainya dengan niat zakat maka gugurlah kewajibannya.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh mereka adalah :
1)      Alasan mereka yang mengatakan bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur karena orang tersebut dalam berniat dengan apa yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib / fardu. Maka zakatnya tidak gugur. Mereka menganalogikan hal tersebut pada shalat, yaitu jika seseorang melakukan shalat seperti apa yang ia kehendaki dan ia tidak berniat shalat fardhu atas shalatnya itu maka shalatnya tidaklah gugur sebelum ia melakukan shalat tersebut dengan niat shalat fardhu. Sedekah tersebut bisa jatuh pada fardhu juga sunah. Oleh karena itu, niatnya harus ditentukan.
2)      Asy – Syafi’i dalam kitabnya Al – Umm (18 : 2 ) mengatakan bahwa apabila dalam bersedekah itu tidak ditentukan fardu dan sunnahnya maka sebenarnya Allah SWT, itu sangat mengetahui akan hal itu.
3)      Dalam kitab Al Majmu (191 : 6) AN Nawawi mengatakan bahwa perbuatan tersebut tidak murni sebagai fardu dan juga tidak sah, seperti halnnya shalat.
4)      Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al –Mugni (377 : 2) berpendapat bahwa menyedekahkan (zakat) semua harga dengan tidak disertai niat zakat adalah tidak sah, karena tidak disertai dengan niat fardu. Perbuatan tersebut juga tidak mendapatkan pahala. Hal tersebut sama halnya apabila seseorang melakukan shalat 100 (seratus) raka’at tanpa menentukan niat bahwa shalat tersebut adalah shalat fardu atau shalat sunat.
5)      Alasan golongan Hanafi mengenai gugurnya kewajiban itu adalah istihsan. Pengarang kitab al Inayah (126 : 5) berpendapat bahwa berdasarkan qiyas, kewajiban tersebut tidak gugur, karena sunah dan fardu keduanya merupakan syar’iat. Oleh karena itu, harus ditentukan seperti dalam shalat.
Alasan menurut dalil istihsan tentang zakat tersebut adalah setelah jelasnya kewajiban tentang bagian dari seluruh hartanya, yaitu 4/10, dan ukuran tersebut merupakan ketentuan dari keseluruhan. Apabila sesuatu telah ditentukan, maka tidak perlu penentuan lagi, karena adanya fardu itu telah membayar keseluruhan dan penentuan kefarduan itu sendiri untuk mempersempit antara bagian yang harus dilaksanakan dengan bagian yang lainnya.









DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Al Ghazali, Al Musthapa Fi Lim :  Al Ushul, Beirut : DAR Al Kutub Al Ilmiyah

Al Amalah AL Bannani, Hasyiah Al Bannani Ala Syarh Al Mahali ala Matu Jam’u Al Jawami Berut : Dar Al Fikr : 1983




















”ISTIHSAN”


Makalah yang disusun untuk memenuhi
Tugas mata kuliah ”Uhsul Fiqih”
Semester II / 2009



 
















Oleh                    :    Dede Susanah
Nomor Induk    :    08.0104.050
Jurusan              :    PAI Konsentrasi PGMI – B
Dosen                 :    Drs. H.U Suhendar






SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM
(STAI)

 
TAHUN 2008 / 2009 
KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT yang maha luas ilmu, Alhamdulillah penyusun makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun sebagai upaya untuk memenihi salah satu tugas mata kuliah usul fiqih.
Di dalam proses penyusunan makalah ini banyak kesulitan yang penyusun hadapi walaupun demikian, kesulitan demi kesulitan dapat penyusun hadapi karena banyak pihak yang memberikan bantuan dan dorongan oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H.U Suhendar.
Terima kasih, penyusun mohon maaf kepada seluruh pihak karena makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, untuk itu penyusun membuka kesempatan yang seluas – luasnya untuk menerima saran dan kritik. Semoga dengan adanya saran dan kritik itu, penyusun termotivasi untuk mengadakan perubahan menuju yang terbaik.
Harapan penyusun, mudah – mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan tolak ukur bagi penyusun masalah berikutnya.

Tasikmalaya,    April 2009



Penyusun












i
 
 


DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................     i
Daftar Isi .....................................................................................................     ii
ISTIHSAN
1.      Pengertian dan Hakikat Istihsan ...........................................................     1
2.      Kehujjahan Istihsan dan pandangan pada ulama...................................     3
3.      Zakat Seluruh Harta Tanpa Niat ...........................................................     4

DAFTAR PUSTAKA

ii
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar