Sabtu, 30 Mei 2015

Ritual menurut perspektif Islam - zona IAILM

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ritual Dalam Perspektif Sosiologi
Semua gama mengenai ritual, Karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sacral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelomok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental. (Djamari, 1993 : 35).
Hamper semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sacral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari – hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sacral. Sedangkan perilaku profane dilakukan secara bebas (Djamar, 1993 : 36).
Dalam analisis Djamari (1993 : 36), rutual ditunjau dari dua segi tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat, dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan.
Adapun dari segi cara ritual dapat dibedakan menjadi dua individual dan kolektif sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993 : 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homnas, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi, tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi kecemasan yang bersifat ‘sangat” yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kecemasan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer, dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homas, C Anthony Wallace (Djamari, 1993 : 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut :
  1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perburuan
  2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal – hal yang tidak diinginkan.
  3. Ritual sebagai ideologis – mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentiment, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya upcara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap status, hak dan tanggung jawab yang baru.
  4. Ritual sebagia penyelamat (salvation) misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah – olah menjadi orang baru, ia berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan dunia profane.
  5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali) Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertujuan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian tertentu, kita kurang setuju misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K Nottingham, 1993 : 10) karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.

B.     Ritual Islam
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam Al Qur’an dan Sunnah; dan ritual yang tiak memiliki dalil baik dalam Al Qur’an maupun dalam sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Muhammad saw (muludan, Sunda) dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditunjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga : primer, sekunder, dan tertier.”
Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Umpamanya salat wajib lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah salat sunnah, umpamannya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah salat tahajud dan salat duha.
Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunan. Umpamanya. Calam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Al Nasa’I dan Ibnu Hibbanyang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda. “Orang yang membaca ayat kursy setelah salah wajib tidak akan ada yang menghalanginya untuk masuk surga. Meskipun ada hadis tersebut, ulama tidak berpendapat bahwa memabca ayat kursy setelah salat wajib adalah sunah. Karena itu membaca ayat kursy setelah salat wajib hanya bersifat tansam.
Dari sudut mukaian ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua ritual yang diwajibkan kepada setiap orang dan ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaanya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan Ridha Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat Istisqa, yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar bekenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari Homans), ritual dalam islam juga dapat dibagi menjadi dua primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kwajiban sebagia pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jum’at bagi Muslim laki – laki. Di sebagian masyarakat Indonesia, terdapat kebiasaan salat Padah, yaitu shalat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jum’at.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelaksanaan I’adah itu. Diantara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jum’at terdapat banyak syarat yang secara rinci telah dimuat dalam kitab – kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlahjamaah diyakini lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah salat Jum’at untuk menutupi kemungkinan tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan shalat jumat Dalam kasus itu salah jumat berkedudukan sebagai ritual primer, dan salat zuhur (I’adahh) berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek aau segi. Kajian terebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda – beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara ekspilisit.

C.    Institusi
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istilah yang mengacu kepada pengertian institusi (lembaga), yaitu Institute dan institution. Istilah pertama menenaknan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995 : 1)
Istilah lembaga kemayarakatan merupakan pengalih bahasaan dari Istilah Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono Soekanto (1987 : 177)  menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai Istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk menjelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu adalah pranata social yang di dalamnya terdapat unsur – unsure yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata social, seperti dituturkan oleh Koentjaraningrat (1980 : 179), adalah suatu system tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan khussus mereka dalam masyarakat. Dengan demikian menurut beliau, lembaga kemasyarakatan adalah system tata kelakukan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti social institution adalah bangunan social. Ia merupakan pandanan dari istilah lerman, yaitu siziale geblah. Terhemahan ini nampak jelas menggambarkan bentuk dan struktur social institution.
Pengertian – pengertian social institution yang lain yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987 : 179) adalah sebagai berikut :
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.
Homard Becker mengartikan social institution dari sudut fungsinya. Menurutnya ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.
Sumner melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita – cita sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan – kebutuhan masyarakat.
Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertia; pertama, system norma yang mengandung. Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964 : 67) an institution consists of a concept idea, nation, doctrin, interest and a structure. (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita – cita, minat, doktrin, kebutuhan dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. Ia merupakan aturan yang mngatur warga kelompok di masyarakat. Disamping itu, ia pun merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan memperbandingkan dengan sesuatu.
Norma – norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendidikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum, seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahirkan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis norma – norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage)l kedua kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); dan keempat, adapt istiadat (cuctom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang – ulang kekuatan mengikat normat usage adalaha paling lemah dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara berulang – ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu disenangi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada norma usage, contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara berperilaku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores ia merupakan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus menerus dilakukan sehingga integritasnya menjadi sangat kuat dengan pola – pola perlaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan  cutom. Dengan demikian warga masyarakat yang melanggar custom akan menderita karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi. 1964 : 61 – 2)

D.    Fungsi dan Unsur – Unsur Institusi
Secara umum tujuan institusi itu adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, social dan budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut :
1.      Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian social berdasarkan system tertentu, yaitu system pengawasan tingkah laku.
2.      Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat
3.      Membeirkan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi – fungsi institusi yang diungkapkan diatas, seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku suatu masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi – institusi  yang ada di masyarakat bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya yang berjudul Society and introductory Analisysis yang ditulis dan disadur oleh Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi (1964 : 78), elemen institusi itu ada tiga : pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan ketiga special interst.
Association merupakan wujud konkret dari institusi. Ia bukan system nilai tetapi merupakan bangunan dari system nilai. Ia adlaah kelompok – kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institute atau universitas merupakan institusi kemasyarakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga adalah Asosociation.
Charcteristic Intitutuib adakga system nilai atau norma tertentu yang dipergunakan oleh suatu association. Ia dijadikan landasan dan tolok ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata perilaku dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interst adalah kebutuhan atau tujuan tertentu, baik kebutuh yang bersifat pribadi maupun aosiasi. Sebagai sebuah gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini. Keluarga merupakan asosiasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Pada anggota keluarga terikat oleh aturan – aturan yang telah sama – sama disepakati. Aturan – aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

E.     Institusi Islam
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah swt dan Sunnah Nabi Muhmmad saw. Ia merupakan pedoman bertingkah laku masyarkat Muslim agar mereka memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandud, wujud, makruh dan haram. Dalam termonologi ilmu Ushul Fikh, mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi. Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang mengerjakan perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujud adalah perilaku yang harus dilakukan sehingga seseorang yang mengerjakan perilaku wujud akan mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendakat sanksi. Makruh adalah tingkat  norma yang memberikan sanksi kepada yang melangggarnya, dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggan.
Insititusi adalah system nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalam akidah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun Iman yang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum) dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan, perserkatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pidana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah SWT dan akhlak terhadap makhluk.
Norma – norma dalam Islam yang merupakan characteristic institution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok  - kelompok asosiasi (association) tertentu yang merupakan bangunan atau wujud konkret dari norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan norma oleh masyarakat Muslim merupakan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka bisa hidup dengan aman dan tentara serta bahagia di dunia dan diakhierat, karena institusi di dalam Islam adalah system norma yang didasarkan pada ajaran Islam adalah system norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebuuhan Umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukakan beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti Institusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan, institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiakan menjadi Bank Mu’amalah Indonesia (BMI) Baitul Mal Watamwil (BMT) institusi zakat yang diasosiasikan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh (BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Semua Institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masyarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Setelah alam berzakh, manusia memasuki kehidupan tahap ketiga, yaitu alam akhirat. Alam ini dimulai dengan peniupan sangkakala yang pertama saat terjadinya hari kiamat yang pada saat itu pula segala mkhluk mengalami kerusakan dan kematian kecuali israfil yang akan meniup sangkakala yang kedua (Q.S Al Haqah (69); 13-16 dan Q.S Al Zumar (39 : 68) Tiupan untuk membangkitkan makhluk dari kematian yang selanjutnya digiring dan dikawal oleh para malaikat (Q.S Qaf (50) : 21) untuk berkumpul di Padang Mahsyar (tempat berkumpul untuk menghadapi pengadilan Allah.
Pengadilan itu menggunakan timbangan yang sangat adil (Q.S Al A’raf (7) : 8 – 9) setelah melalui proses pengadilan, manusia terbagi kepada dua kelompok penghuni surga, dan penghuni mereka. Surga adalah tempat kebahagiaan dan neraka tempat penyiksaan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar