BAB II
PEMBAHASAN
A. Ritual Dalam Perspektif
Sosiologi
Semua gama mengenai ritual, Karena setiap agama
memiliki ajaran tentang hal yang sacral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual
adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan
tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan
memperkuat solidaritas kelomok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.
(Djamari, 1993 : 35).
Hamper semua masyarakat yang melakukan ritual
keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang
sacral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisikan sebagai
perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang
berbeda dengan perilaku sehari – hari, baik cara melakukannya maupun maknanya.
Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan
keberkahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sacral. Sedangkan
perilaku profane dilakukan secara bebas (Djamar, 1993 : 36).
Dalam analisis Djamari (1993 : 36), rutual ditunjau
dari dua segi tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang
tujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri
kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat, dan ada yang tujuannya
meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan.
Adapun dari segi cara ritual dapat dibedakan menjadi
dua individual dan kolektif sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan
ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi,
bertapa dan yoga. Ada
pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat
berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993 : 38) menunjukkan
hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homnas, ritual berawal dari
kecemasan. Dari segi, tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi kecemasan yang
bersifat ‘sangat” yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa,
yang ia sebut kecemasan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan
primer melahirkan ritual primer, dan kecemasan sekunder melahirkan ritual
sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang
bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap
tercapainya tujuan dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi
kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homas, C Anthony Wallace (Djamari,
1993 : 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut :
- Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang
berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perburuan
- Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk
mengobati dan mencegah hal – hal yang tidak diinginkan.
- Ritual sebagai ideologis – mitos dan ritual
tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentiment, dan
perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya upcara inisiasi yang merupakan
konfirmasi kelompok terhadap status, hak dan tanggung jawab yang baru.
- Ritual sebagia penyelamat (salvation) misalnya
seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah – olah menjadi orang
baru, ia berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan
dunia profane.
- Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau
penghidupan kembali) Ritual ini sama dengan ritual salvation yang
bertujuan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian
tertentu, kita kurang setuju misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat
Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K Nottingham, 1993 : 10) karena
mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.
B. Ritual Islam
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan
menjadi dua ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam Al
Qur’an dan Sunnah; dan ritual yang tiak memiliki dalil baik dalam Al Qur’an
maupun dalam sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat;
sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan peringatan hari (bulan)
kelahiran Nabi Muhammad saw (muludan, Sunda) dan tahlil yang dilakukan keluarga
ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat
ditunjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat
dibedakan menjadi tiga : primer, sekunder, dan tertier.”
Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib
dilakukan oleh umat Islam. Umpamanya salat wajib lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban
ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadis Nabi
Muhammad SAW.
Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah salat
sunnah, umpamannya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah salat tahajud
dan salat duha.
Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa
anjuran dan tidak sampai pada derajat sunan. Umpamanya. Calam hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Al Nasa’I dan Ibnu Hibbanyang menyatakan bahwa Nabi
Muhammad saw bersabda. “Orang yang membaca ayat kursy setelah salah wajib tidak
akan ada yang menghalanginya untuk masuk surga. Meskipun ada hadis tersebut,
ulama tidak berpendapat bahwa memabca ayat kursy setelah salat wajib adalah
sunah. Karena itu membaca ayat kursy setelah salat wajib hanya bersifat tansam.
Dari sudut mukaian ritual Islam dapat dibedakan
menjadi dua ritual yang diwajibkan kepada setiap orang dan ritual yang wajib
kepada setiap individu tetapi pelaksanaanya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan
menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan Ridha Allah semata
dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang
bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat Istisqa, yang
dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar bekenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog
(yang dalam tulisan ini diambil dari Homans), ritual dalam islam juga dapat
dibagi menjadi dua primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kwajiban
sebagia pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jum’at bagi Muslim
laki – laki. Di sebagian masyarakat Indonesia , terdapat kebiasaan salat
Padah, yaitu shalat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jum’at.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan
pelaksanaan I’adah itu. Diantara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam
salat Jum’at terdapat banyak syarat yang secara rinci telah dimuat dalam kitab
– kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40
orang. Menurut kiai, meskipun jumlahjamaah diyakini lebih dari empat puluh
orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau
musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah
salat Jum’at untuk menutupi kemungkinan tidak terpenuhinya salah satu atau
beberapa syarat penyelenggaraan shalat jumat Dalam kasus itu salah jumat
berkedudukan sebagai ritual primer, dan salat zuhur (I’adahh) berkedudukan
sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek aau
segi. Kajian terebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga
tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda – beda,
karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara ekspilisit.
C. Institusi
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istilah yang
mengacu kepada pengertian institusi (lembaga), yaitu Institute dan institution.
Istilah pertama menenaknan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau
organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan
pada pengertian institusi sebagai suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan
(Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995 : 1)
Istilah lembaga kemayarakatan merupakan pengalih
bahasaan dari Istilah Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono
Soekanto (1987 : 177) menjelaskan bahwa
sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai Istilah Indonesia yang
khas dan tepat untuk menjelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat
untuk istilah itu adalah pranata social yang di dalamnya terdapat unsur –
unsure yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata social, seperti
dituturkan oleh Koentjaraningrat (1980 : 179), adalah suatu system tata
kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas manusia untuk
memenuhi kebutuhan khussus mereka dalam masyarakat. Dengan demikian menurut
beliau, lembaga kemasyarakatan adalah system tata kelakukan atau norma untuk
memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti social
institution adalah bangunan social. Ia merupakan pandanan dari istilah lerman,
yaitu siziale geblah. Terhemahan ini nampak jelas menggambarkan bentuk dan
struktur social institution.
Pengertian – pengertian social institution yang lain
yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987 : 179) adalah sebagai berikut :
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page social
institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur
manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.
Homard Becker mengartikan social institution dari
sudut fungsinya. Menurutnya ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar
manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara
kebutuhan hidup mereka.
Sumner melihat social institution dari sisi
kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita – cita sifat
kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan – kebutuhan masyarakat.
Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi,
dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertia; pertama, system
norma yang mengandung. Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan
dan Soelaeman Soemardi (1964 : 67) an institution consists of a concept idea,
nation, doctrin, interest and a structure. (suatu institusi terdiri atas konsep
tentang cita – cita, minat, doktrin, kebutuhan dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat
mengikat. Ia merupakan aturan yang mngatur warga kelompok di masyarakat.
Disamping itu, ia pun merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan
memperbandingkan dengan sesuatu.
Norma – norma yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat, berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah,
umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang menimbulkan institusi keluarga dan
institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi
pendidikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum, seperti peradilan;
dan kelompok norma agama yang melahirkan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis
norma – norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan
cara (usage)l kedua kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); dan
keempat, adapt istiadat (cuctom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang
dilakukan secara berulang – ulang kekuatan mengikat normat usage adalaha paling
lemah dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara
berulang – ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu
disenangi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada norma usage,
contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada
yang lebih tua dianggap sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page,
kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara
berperilaku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka
kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores ia merupakan alat pengawas bagi
perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus menerus
dilakukan sehingga integritasnya menjadi sangat kuat dengan pola – pola perlaku
masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan cutom. Dengan demikian warga masyarakat yang
melanggar custom akan menderita karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat
(Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi. 1964 : 61 – 2)
D. Fungsi dan Unsur – Unsur
Institusi
Secara umum tujuan institusi itu adalah memenuhi
segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi,
politik, social dan budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah
sebagai berikut :
1.
Memberikan pedoman kepada
masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian social berdasarkan system
tertentu, yaitu system pengawasan tingkah laku.
2.
Menjaga stabilitas dan keamanan
masyarakat
3.
Membeirkan pedoman kepada
masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi
kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi – fungsi institusi yang
diungkapkan diatas, seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian
tingkah laku suatu masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi
– institusi yang ada di masyarakat
bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya
yang berjudul Society and introductory Analisysis yang ditulis dan disadur oleh
Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi (1964 : 78), elemen institusi itu ada
tiga : pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan ketiga
special interst.
Association merupakan wujud konkret dari institusi.
Ia bukan system nilai tetapi merupakan bangunan dari system nilai. Ia adlaah
kelompok – kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institute atau universitas
merupakan institusi kemasyarakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan
Gunung Djati, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas
Padjadjaran, Universitas Airlangga adalah Asosociation.
Charcteristic Intitutuib adakga system nilai atau
norma tertentu yang dipergunakan oleh suatu association. Ia dijadikan landasan
dan tolok ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata
perilaku dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan
sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interst adalah kebutuhan atau tujuan
tertentu, baik kebutuh yang bersifat pribadi maupun aosiasi. Sebagai sebuah
gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini. Keluarga merupakan asosiasi
yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Pada anggota keluarga
terikat oleh aturan – aturan yang telah sama – sama disepakati. Aturan – aturan
tersebut dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
E. Institusi Islam
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman
Allah swt dan Sunnah Nabi Muhmmad saw. Ia merupakan pedoman bertingkah laku
masyarkat Muslim agar mereka memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan
akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk
mubah, mandud, wujud, makruh dan haram. Dalam termonologi ilmu Ushul Fikh,
mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi.
Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang mengerjakan
perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujud adalah perilaku yang
harus dilakukan sehingga seseorang yang mengerjakan perilaku wujud akan
mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendakat sanksi. Makruh adalah
tingkat norma yang memberikan sanksi
kepada yang melangggarnya, dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun
haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggan.
Insititusi adalah system nilai dan norma. Adapun norma
Islam terdapat dalam akidah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam
rukun Iman yang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat,
zakat, puasa (shaum) dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan,
perserkatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pidana, dan
politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah SWT dan
akhlak terhadap makhluk.
Norma – norma dalam Islam yang merupakan
characteristic institution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan
kelompok - kelompok asosiasi
(association) tertentu yang merupakan bangunan atau wujud konkret dari norma.
Pembentukan asosiasi dengan landasan norma oleh masyarakat Muslim merupakan
upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka bisa hidup dengan aman
dan tentara serta bahagia di dunia dan diakhierat, karena institusi di dalam
Islam adalah system norma yang didasarkan pada ajaran Islam adalah system norma
yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebuuhan
Umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukakan
beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti Institusi
perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan
Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara
tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan, institusi pendidikan
yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang
diasosiakan menjadi Bank Mu’amalah Indonesia (BMI) Baitul Mal Watamwil (BMT)
institusi zakat yang diasosiasikan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh
(BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) Semua Institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala
kebutuhan masyarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Setelah alam berzakh, manusia memasuki kehidupan
tahap ketiga, yaitu alam akhirat. Alam ini dimulai dengan peniupan sangkakala
yang pertama saat terjadinya hari kiamat yang pada saat itu pula segala mkhluk
mengalami kerusakan dan kematian kecuali israfil yang akan meniup sangkakala
yang kedua (Q.S Al Haqah (69); 13-16 dan Q.S Al Zumar (39 : 68) Tiupan untuk
membangkitkan makhluk dari kematian yang selanjutnya digiring dan dikawal oleh
para malaikat (Q.S Qaf (50) : 21) untuk berkumpul di Padang Mahsyar (tempat
berkumpul untuk menghadapi pengadilan Allah.
Pengadilan itu menggunakan timbangan yang sangat adil
(Q.S Al A’raf (7) : 8 – 9) setelah melalui proses pengadilan, manusia terbagi
kepada dua kelompok penghuni surga, dan penghuni mereka. Surga adalah tempat
kebahagiaan dan neraka tempat penyiksaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar